Pengakuan dan pertanyaan yang baru saja diucapkan kakek tua itu tentu saja membuatku sangat kaget. Kenapa dia mengaku sebagai Mahmud dan berlagak tidak mengenalku? Mungkin saja Mahmud sudah ada di dalam rumah dan sebelumnya telah mengatur persekongkolan dengan kakeknya untuk membuatku kebingungan. Aku membayangkan wajah licik Mahmud tengah cekikin mengintip dari balik ruang tengah.
Aku menyapu pandangan ke seluruh arah ruangan yang aku kenal baik ini. Empat buah kursi tunggu yang terbuat dari rotan dan satu meja kayu masih ada di posisinya masing-masing. Di salah satu sudut terdapat lemari kayu berwarna coklat pudar tanpa kaca tempat menaruh radio transistor tua yang sedang menyiarkan warta berita. Pada dinding di atas radio, tertempel poster presiden Sukarno didampingi Muhammad Hatta tengah membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Begitu juga sebuah meja kecil dari kayu tempat menaruh kotak perabotan yang berisi gunting, sisir dan peralatan cukur lainnya. Namun sekonyong-konyong aku terperanjat kaget melihat di sebelah cermin besar yang digantung di dinding, tertempel pula selembar kertas karton warna putih kusam seukuran buku tulis yang belum pernah kulihat sebelumnya bertuliskan:
Dewasa    :  Rp. 10.000
Anak-anak : Â Rp. 6.000
Aku beringsut maju ke depan cermin besar dan menatapnya lekat-lekat, namun bayangan yang muncul dari dalam cermin adalah sesosok lelaki paruh baya dengan bentuk wajah tirus, dahi penuh garis bekerut-kerut. Rambutnya yang tipis dan jarang-jarang terurai hingga ke bahu, Â lebih banyak rambut yang berwarna putih dibanding hitam. Demikian pula kumis dan jenggotnya, penuh uban!
[caption id="attachment_338273" align="alignnone" width="768" caption="Hilangnya Aku"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H