"Plagiarisme adalah pelanggaran etika dan hukum. Ini adalah pengingat bagi semua seniman untuk terus belajar, memahami aturan hak cipta, dan berinovasi dengan cara yang etis," katanya.
Kasus seperti ini menunjukkan bahwa industri musik perlu terus memperkuat kesadaran dan perlindungan hak cipta, terutama di era digital yang memungkinkan distribusi musik dengan mudah.
Di sisi lain, kasus ini juga menjadi pembelajaran bagi para musisi untuk lebih berhati-hati dalam proses kreatif mereka agar tidak terjebak dalam tuduhan serupa.
Revisi UU Hak Cipta Jadi Solusi?
Dengan semakin banyaknya kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 untuk direvisi.
Perubahan ini diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan teknologi digital dan memberikan perlindungan lebih baik bagi karya kreatif di era digital.
Tantangan di Era Digital
Kompol Sandy Budiman menyoroti bagaimana kemajuan teknologi digital telah memengaruhi industri musik, termasuk dalam hal plagiarisme.
"Di satu sisi, teknologi mempermudah distribusi dan penciptaan karya, tetapi di sisi lain, juga membuka peluang lebih besar untuk pelanggaran hak cipta," ujarnya.
Sandy menyebutkan perlunya regulasi yang lebih tegas untuk melindungi hak cipta di era digital, terutama terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penciptaan musik.