Jakarta --- Kasus dugaan plagiarisme yang melibatkan Band Radja semakin menjadi sorotan. Lagu terbaru mereka yang berjudul "Apa Sih" dituduh memiliki kemiripan dengan lagu "APT." Akibat tuduhan tersebut, "Apa Sih" telah ditarik dari platform Spotify.
Kompol Sandy Budiman, seorang perwira polisi sekaligus musisi, memberikan pandangannya mengenai kasus ini.
"Dalam dunia musik, inspirasi sering kali datang dari banyak sumber, tetapi penting bagi para musisi untuk memastikan bahwa karya yang dihasilkan benar-benar orisinal," ujar Sandy ditemui di studionya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (4/1/2025).
Ia menambahkan bahwa plagiarisme tidak hanya merugikan pencipta asli, tetapi juga merusak reputasi musisi yang dituduh melakukannya.
Gitaris Radja, Moldy, telah memberikan klarifikasi terkait tuduhan tersebut. Moldy menjelaskan bahwa kemiripan dalam musik bisa terjadi secara tidak sengaja karena terbatasnya kombinasi nada dan akor dalam musik populer.
Ia menegaskan tidak ada niat untuk menjiplak karya orang lain dan proses kreatif mereka murni berdasarkan inspirasi yang berbeda.
Sementara itu, hingga kini belum ada informasi resmi mengenai syarat kesepakatan damai antara Radja dan pihak yang menuduh.
Dalam kasus dugaan plagiarisme musik, solusi yang biasanya ditempuh mencakup pengakuan, kompensasi finansial, perubahan karya, atau penarikan lagu dari peredaran. Namun, semua pihak masih menunggu hasil mediasi atau pernyataan resmi dari kedua belah pihak.
Kompol Sandy Budiman juga menekankan pentingnya menghormati hak cipta dalam dunia musik.
"Plagiarisme adalah pelanggaran etika dan hukum. Ini adalah pengingat bagi semua seniman untuk terus belajar, memahami aturan hak cipta, dan berinovasi dengan cara yang etis," katanya.
Kasus seperti ini menunjukkan bahwa industri musik perlu terus memperkuat kesadaran dan perlindungan hak cipta, terutama di era digital yang memungkinkan distribusi musik dengan mudah.
Di sisi lain, kasus ini juga menjadi pembelajaran bagi para musisi untuk lebih berhati-hati dalam proses kreatif mereka agar tidak terjebak dalam tuduhan serupa.
Revisi UU Hak Cipta Jadi Solusi?
Dengan semakin banyaknya kasus pelanggaran hak cipta di Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 untuk direvisi.
Perubahan ini diharapkan dapat mengakomodasi perkembangan teknologi digital dan memberikan perlindungan lebih baik bagi karya kreatif di era digital.
Tantangan di Era Digital
Kompol Sandy Budiman menyoroti bagaimana kemajuan teknologi digital telah memengaruhi industri musik, termasuk dalam hal plagiarisme.
"Di satu sisi, teknologi mempermudah distribusi dan penciptaan karya, tetapi di sisi lain, juga membuka peluang lebih besar untuk pelanggaran hak cipta," ujarnya.
Sandy menyebutkan perlunya regulasi yang lebih tegas untuk melindungi hak cipta di era digital, terutama terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penciptaan musik.
Penggunaan AI dalam menciptakan lagu telah menjadi tren yang berkembang pesat, tetapi juga menimbulkan tantangan baru, terutama terkait status hak cipta.
Sandy menambahkan, "Jika AI digunakan sebagai alat bantu, kreator harus tetap terlibat aktif dalam proses kreatif. Dengan begitu, hak cipta tetap dapat dipertahankan, dan etika dalam penciptaan seni tetap terjaga."
Harapan dari Revisi UU Hak Cipta
Revisi UU Hak Cipta diharapkan menjadi solusi konkret bagi berbagai permasalahan hak cipta yang muncul di era digital. Salah satu poin utama yang menjadi perhatian adalah pengaturan hak cipta untuk karya yang dihasilkan oleh AI.
Saat ini, karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI tanpa campur tangan manusia belum diakui sebagai karya yang dilindungi di Indonesia.
Selain itu, revisi tersebut juga diharapkan mencakup mekanisme penanganan pelanggaran hak cipta di platform digital.
Dengan semakin banyaknya kasus pelanggaran, seperti distribusi ilegal dan plagiarisme, diperlukan langkah tegas yang mampu memberikan efek jera.
Pentingnya Edukasi dan Kesadaran Publik
Kompol Sandy Budiman juga menekankan pentingnya edukasi bagi masyarakat dan para pelaku industri kreatif mengenai hak cipta.
"Banyak orang yang mungkin tidak sadar bahwa menggunakan atau mendistribusikan karya tanpa izin adalah pelanggaran. Edukasi adalah kunci untuk mencegah hal ini terjadi," katanya.
Ia berharap revisi UU Hak Cipta tidak hanya memperkuat aspek penegakan hukum, tetapi juga mendorong program-program edukasi yang dapat meningkatkan kesadaran publik.
Dengan demikian, pelanggaran hak cipta dapat diminimalkan, dan iklim kreatif yang sehat dapat terus berkembang.
*Kasus Radja Sebagai Pembelajaran*
Kasus Band Radja menjadi contoh nyata bagaimana isu plagiarisme dapat memengaruhi karier dan reputasi seorang musisi. Meski belum ada keputusan final, kasus ini membuka diskusi yang lebih luas tentang perlindungan hak cipta dan tanggung jawab musisi dalam menciptakan karya.
"Ini bukan hanya tentang siapa yang benar atau salah, tetapi tentang bagaimana kita sebagai komunitas seni dapat menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi, sekaligus menjaga integritas seni," tutup Kompol Sandy Budiman.
Hingga berita ini diturunkan, kedua belah pihak masih dalam proses mediasi. Publik pun menanti hasil akhir dari kasus ini, yang diharapkan dapat memberikan keadilan sekaligus menjadi pembelajaran bagi industri musik Indonesia.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H