"Awalnya memang berat untuk membangun ini. Mulai dari lokasi sampai barang-barang, saya benar-benar memperjuangkannya. Bagaimana konsep ini saya ajukan ke pihak yayasan, tentu bukan perkara mudah. Belum lagi untuk mengumpulkan barang-barang bekas. Itu bukan pekerjaan gampang. Sebab seperti kita ketahui, orang masih banyak yang menjual barang-barang bekas ke tukang rongsokan daripada ke kami." urainya.
Kendati tidak sepeser pun uang dikeluarkan saat membuka "Second Muamalah", Rama tak menampik mengalami kesulitan dalam mengelola gerai berbasis pahala tersebut.
Dia mencontohkan bagaimana keuntungan di awal berdirinya "Second Muamalah". Pada awal operasional, Rama menjelaskan dapat meraup untung sebesar 100 persen. Namun hal itu berbanding terbalik saat ini. Keuntungannya tidak seperti pada awal.
"Kalau secara keuntungan yang jelas keuntungannya 100 persen. Omset bulan pertama kita opening itu Rp 3 juta. Program ini memang tidak mengeluarkan modal. Kita dapat anggaran dari Masjid seperti pembelian rak-rak baju, gantungan bajunya dan lain-lain. Nah kalau tadi bulan pertama itu ya Rp 3 juta, bulan selanjutnya udah pasti menurun terus." akunya.
Selain omset dan keuntungan yang menurun, Rama juga mengalami kendala, yakni terbatasnya orang yang bertugas menjaga "Second Muamalah".
"Memang kita ada kendala sebenarnya yaitu orang yang menjaganya gitu."
Termasuk untuk melakukan promosi di media sosial, Rama mengatakan jika dirinya juga sudah melakukan marketing lewat berbagai platform media sosial. Namun hal tersebut masih saja membuat "Second Muamalah" kurang diminati orang.
"Secara marketing kita sudah melakukannya lewat media sosial seperti Facebook atau Instagram." terang Rama.
Di samping memanfaatkan media sosial, Rama juga mengatakan sudah melakukan berbagai usaha dalam mempromosikan keberadaan "Second Muamalah". Salah satunya dia bersama remaja masjid menyebarkan brosur ke rumah-rumah warga.