Maulina Sucihati memiliki pola atau konsep tersendiri saat memulai pembelajaran di kelas baru. Ia meminta siswa didiknya menggambar sesuatu. Dari hasil menggambar itulah akan diketahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa.
"Saya melakukan pemetaan. Di awal saya pasti menyuruh anak-anak menggambar. Dari menggambar itu bisa diketahui tingkat pemahaman pembelajaran anak-anak sebelumnya. Dari gambar-gambar itu saya observasi dan saya buat pemetaan terhadap anak-anak apakah mereka tingkat pemahamannya tinggi, sedang atau lambat." Urai wanita yang biasa disapa Lina.
Menjadi hal berbeda untuk hal positif juga diterapkan Maulina dalam memberikan materi pembelajaran di kelas. Guna pemerataan kemampuan siswa, ia membuat kelompok-kelompok di dalam kelas.
"Kemudian sistem pembelajarannya seperti apa. Apakah sesuai dengan kelas yang kita pegang. Saya juga mengelompokkan anak-anak agar membantu saya saat mengajar." Imbuhnya.
"Pengelompokan anak-anak yang cepat, sedang dan lambat dalam satu kelompok di kelas  biasanya saya rolling waktunya. Hal itu untuk mencari dan mendapatkan kemampuan anak-anak agar merata." Lanjutnya.
Pengelompokan siswa dalam kelas, selain menciptakan kebersamaan, juga tak memberi batas serta jarak, khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus.
Model pengelompokan anak-anak di kelas ternyata menghasilkan hal yang positif terutama pada perubahan sikap dan kebiasaan anak-anak.
"Ada 3 murid yang 2 minggu tidak masuk. Setelah saya terapkan model pembelajaran seperti itu mereka jadi rajin ke sekolah." Tutur wanita yang tengah menempuh pendidikan jenjang S2.
Perlu diketahui, sejak 2021 sekolah-sekolah negeri memang ditunjuk untuk menerima siswa berkebutuhan khusus, dengan catatan IQ mereka tak boleh berada di bawah angka 80.
"Kebetulan juga sekolah kami adalah sekolah yang ditunjuk untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Disini kami dituntut untuk bisa mendidik mereka walau sebenarnya disiplin ilmu kami bukan tentang dunia anak inklusi secara khusus. Tapi bagi saya segala sesuatu harus kita pelajari dan dalami."