Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis & Content Writer

Lisan Terbang, Tulisan Menetap

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Devi Monica, Kisah Sarjana Teknik Arsitektur Landscape yang Kecemplung ke Industri Perfilman

17 April 2022   12:32 Diperbarui: 17 April 2022   12:33 1303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu semasa kuliah, Devi Monica mungkin tak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya ia harus menjalani bisnis di industri perfilman Indonesia. Devi dahulu, adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi ternama di Jakarta, yang mengambil jurusan Teknik Arsitektur Landscape. Sempat bekerja sesuai ilmu yang didapat dari bangku kuliah, namun kini Devi Monica menjadi bagian penting di Stro TV dan SAS Film


Kisah perjalanan karir sebagai pebisnis di industri perfilman Indonesia yang digeluti Devi Monica ini menjadi menarik, mengingat tak selamanya atau tak semuanya, orang sukses harus berangkat dari kesamaan ilmu dengan pekerjaan yang digelutinya.


"Bisa dikatakan saya kecemplung ke dalam industri film dan televisi secara tidak sengaja. Latar belakang pendidikan saya adalah sarjana teknik arsitektur landcape dan pada awalnya saya pun bekerja sesuai dengan ilmu yang saya dapatkan di kampus". Ujar Devi Monica, secara khusus kepada saya.


Devi Monica menyadari, bahwa situasi dan kondisi juga bisa mengubah segalanya. Termasuk disaat dirinya harus menjalani profesi yang bertolakbelakang dengan ilmu yang didapatnya dari kampus. Itu semua berawal ketika negeri ini mengalami krisis moneter pada 1998 silam.


"Namun ketika Indonesia mengalami krisis moneter di tahun 1998 saya beralih mendalami marketing, marketing vcd dan dvd pada saat itu untuk sebuah rumah produksi film layar lebar. Efek dari krismon tersebut sangat berdampak pada industri layar lebar di Indonesia sehingga nyaris mati. Rumah produksi tempat saya bekerja kemudian ditawari masuk untuk mengisi film televisi. Saya pun mulai merangkap jabatan sebagai asisten produser. Dari sana, perjalanan karir saya di dunia sinema pun mengalir saja bagaikan air sampai hari ini". Kenang Devi Monica.


Begitulah awal dimana Devi Monica yang seorang Sarjana Teknik Arsitektur Landscape menjadi orang yang akhirnya berkecimpung di industri perfilman Indonesia, dengan puluhan karyanya sejak 2000 silam hingga kini.

Devi Monica/foto: pribadi
Devi Monica/foto: pribadi

"Sebagaimana kehidupan, kesuksesan dan "kegagalan" itu datang silih berganti. Yang terpenting adalah kita sudah berusaha sebaik mungkin ketika melahirkan suatu karya." Imbuh Devi.


Sejak menjadi asisten hingga kini seorang Produser, Devi tercatat sudah menghasilkan 20 karya film. Semua produk film yang dihasilkannya mampu menyita perhatian penonton, salah satunya webseries "Tujuh Hari Sebelum 17 Tahun".


"Salah satu karya kami yang cukup sukses diterima publik adalah webseries Tujuh Hari Sebelum 17 Tahun (StroTV, 2021) yang demikian banyak penonton streamingnya sampai membuat server StroTV sempat "jebol", tidak bisa diakses." Ujar Devi menegaskan.

Devi Monica/foto: pribadi
Devi Monica/foto: pribadi


Betapa happy Devi Monica dengan capaian hasil kerja keras dimana salah satu produk film yang dihasilkan mendapat animo tinggi penonton. Pun termasuk ketika salah satu karya filmnya juga berhasil menyabet penghargaan perfilman paling bergengsi di Indonesia, Devi merasa ada kebanggaan pada dirinya.


"Pada tahun-tahun awal hijrah menjadi produser itu saya mendapat kejutan yang menyenangkan, yaitu, salah satu judul film televisi kami berhasil menyabet Panasonic Award. Bisa dibayangkan bagaimana senangnya perasaan saya sebagai anak bawang yang maju di panggung besar live show Panasonic Award untuk menerima piala mewakili rumah produksi tempat saya bekerja." Kenangnya lagi.


Semua, atau mungkin masih sebagian yang sudah diraih, bagi Devi rupanya bagaimana ia memperlakukan pekerjaannya itu sendiri. Jika semua pekerjaan dikerjakan dengan suasana suka, niscaya semua akan menjadi baik. Itulah mengapa sampai saat ini Devi masih betah walau diawal nyemplung ke dunia ini.

Devi Monica/foto: pribadi
Devi Monica/foto: pribadi


"Yang membuat saya merasa suka dan pada akhirnya bertahan di industri film adalah karena disini tidak ada pengulangan. Hidup jadi tidak monoton karena setiap satu judul produksi yang kita besut akan membuat kita bertemu orang baru, crew dan cast yang baru, menemukan permasalahan yang baru dan berusaha memecahkannya. Selain itu saya juga menyukai bidang seni dan hobby menonton film, dua hal yang sangat penting dalam pekerjaan ini". kata Devi.


Selama dua dekade menekuni bisnis industri perfilman Indonesia, Devi tak pula menutup mata jika pada kenyataannya produksi film dalam negeri itu ada yang sukses dan juga ada yang jeblok. Hanya saja, menurutnya faktor 'keberuntungan' tak dapat dielakkan dalam bisnis ini.


"Sedangkan dukanya adalah jika karya yang telah kita besut sebaik mungkin ternyata justru jeblok di pasaran karena kurang penontonnya. Di lain pihak, adalah kenyataan ada film lain yang dibuat dengan asal-asalan tapi justru mendapatkan apresiasi dan jumlah penonton yang tinggi." Ungkapnya lagi.


Devi Monica kini sudah memiliki banyak anak buah yang ia rangkul dari berbagai latar belakang. Perbedaan prinsip, pandangan hingga kreatifitas pasti ada diantara para anak buahnya. Devi disini berusaha berada ditengah semua perbedaan yang ada pada diri anak buahnya itu, ketika harus menerapkan manajemen bisnisnya.

Devi Monica bersama sejumlah anak buahnya/foto: pribadi
Devi Monica bersama sejumlah anak buahnya/foto: pribadi


"Semua itu sangat tergantung policy masing-masing, bagaimana manajemen dari rumah produksinya. Pada intinya tentu kita berusaha menjembatani kalau ada perbedaan pendapat dan mengambil keputusan untuk kebaikan bersama." Imbuhnya.


Sementara, terkait puluhan judul film layar lebar, webseries maupun TV series yang sudah dihasilkan, Devi menjelaskan bagaimana proses itu harus diawali dengan sebuah konsep yang baik.


"Betul sekali, pada awalnya adalah ada konsep yang baik untuk dikembangkan menjadi suatu karya. Dalam fase pre-production, konsep ini kemudian dibangun sebagai satu cerita, ditulis dalam bentuk skenario. Setelah skenario diselesaikan, baru ditentukan cast & crew-nya. Pada saat yang bersamaan kita mempersiapkan berbagai mekanisme pengambilan gambar, seperti izin, pengadaan alat-alat dan seterusnya. Setelah shooting selesai, kita memasuki fase post-production dimana terjadi proses editing, grading, pengisian musik, dsb hingga karya tersebut siap dinikmati masyarakat."beber Devi.


Devi juga memiliki konsep tentang bisnis dunia sineas ini, bahwa tak ada kata merugi jika salah satu produk film gagal di pasaran. Teknologi serta pangsa pasar menurutnya bisa dijadikan alternatif dalam memasarkan itu.


"Saya tidak menyebutkannya sebagai kerugian karena menurut saya film ini bisnis yang tidak sepenuhnya punya masa kedaluarsa. Maksud saya, bisnis film ini memiliki aspek hak cipta yang membuatnya bisa terus ditawarkan ke kelompok penonton yang berbeda (misalnya ke luar negeri), ke platform yang berbeda (misalnya ke layanan streaming) dan seterusnya." Lanjut Devi.


Menghadapi masa pandemi Covid-19 yang cukup panjang, Devi Monica mungkin bukan satu-satunya pengusaha di Industri perfilman yang terkena imbas. Pun begitu ia tak pernah surut apalagi menyerah. Bahkan dalam waktu dekat Devi bakal meluncurkan karya terbarunya.


"Puji syukur meski ada pandemi namun STROWORLD masih terus berproduksi, begitu juga dengan OTT kami, StroTV, terus melahirkan karya-karya baru yang cukup menjanjikan. Untuk menyebut beberapa judul pada tahun 2022 ini kami merencanakan untuk membesut beberapa webseries yang diangkat dari Syklar Comics berjudul Volt, Ekalaya, Blitz dan Sakti." Terangnya.

Devi Monica/foto: pribadi
Devi Monica/foto: pribadi


Terakhir, sebagai pelaku industri perfilman Indonesia, Devi berharap dunia sinematografi dengan berbagai konsep serta platformnya saat ini mampu berada di tahta tertinggi di Asia. Jika itupun tak mungkin, kesuksesan industri ini di Thailand atau Korea Selatan, bisa melecut para sineas Tanah Air.


"Tentunya kita semua berharap dunia sinema Indonesia akan terus maju, tidak kalah inovatifnya dengan magma Asia lain seperti Thailand dan juga Korea yang saat ini boleh dikata beberapa langkah di depan kita. Semoga". Tutup Devi.

(17/4/2022)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun