Mohon tunggu...
Alamsyah
Alamsyah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis & Content Writer

Lisan Terbang, Tulisan Menetap

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Etika Bersepeda untuk Siapa dan di Mana?

21 Maret 2021   00:42 Diperbarui: 21 Maret 2021   10:24 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersepeda saat ini sudah menjadi trend. Kalau saya melintas dari atas TransJakarta melintasi jalan utama Thamrin-Sudirman Jakarta, pasti deh selalu saja ada orang yang bersepeda.

Dari amatan saya, umumnya pesepeda yang melintasi jantung ibu kota itu adalah mereka yang sedang berolah raga. Karena kalau dilihat dari kostum dan jenis sepeda yang dipakai, kebanyakan ya untuk olah raga.

Pada hari kerja, Senin-Jumat di jam kerja, saya malah jarang melihat gitu orang yang bersepeda untuk mencapai tempat kerja mereka. Biasanya orang yang bekerja di kawasan Thamrin-Sudirman dan menggunakan sepeda, ada semacam tas berukuran sedang yang mereka bawa. Isinya pasti pakaian salin mereka.

Artinya ada dua katagori pesepeda yang melintasi di jalan utama Thamrin-Sudirman ini. Pertama mereka yang berolah raga atau mencari angin dan kedua yang bekerja di seputaran Thamrin-Sudirman.

Jika kemudian trend bersepeda ini memunculkan stigma etika bersepeda, artinya ada sejumlah pesepeda yang tidak beretika ketika menggowes roda dua tak bermesin itu.

Contoh belum lama terjadi di kawasan Thamrin-Sudirman, dua pesepeda yang tak masuk dalam dua katagori yang jelaskan di awal, yakni pesepeda yang sehari-hari berjualan kopi keliling, iseng-iseng balapan.

Kedua pedagang kopi keliling atau populer disebut Starling, dengan bebasnya memacu kecepatan sepeda mereka yang notabene biasa digunakan untuk mencari nafkah. Ironisnya, aksi kedua pedagang Starling itu dilakukan ketika kendaraan masih ramai melintasi jalan utama di Jakarta itu.

Kalau itu yang mereka lakukan, maka siapapun sepakat jika etika bersepeda tidak mereka miliki. Selain menyalahi fungsi sepeda yang mereka pakai untuk mencari nafkah, juga bisa disebut menganggu kelancaran lalu lalang kendaraan lain.

Saya yang biasa melintas di jalan Thamrin-Sudirman dengan angkutan massal TransJakarta ini kemudian berpikir, apa iya para pejalan kaki dimana pun mereka, juga harus memiliki etika sebagai pejalan kaki?

Kalau sudah dibuatkan dengan bagus trotoar di ibukota atau dimanapun itu, sejatinya etika berjalan kaki dengan sendirinya akan terbentuk. Pun bagi pesepeda, jika infrastrukturnya sudah dibuat lengkap, apa iya mereka masih juga melanggar etika bersepeda tersebut? Rasanya dengan sendirinya kalau begitu etika bersepeda juga akan terbentuk dengan sendirinya.

Misalnya juga kendaraan motor atau mobil, di setiap lampu merah pasti akan mengikuti sinyal lampu yang ada. Etika itu telah terbentuk sejak ada lampu merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun