Story About Ivona'6
Aku tak mau lagi mengulangi perbuatan bodoh, kabur dari penjara. Sisa masa hukuman tak sampai setahun setengah lagi kumanfaatkan, dekatkan diri kepada Sang Pencipta.
"Sejak kapan pakai Khimar? Kamu lebih anggun memakainya." tanya petugas lapas perempuan kepadaku.
"Aku ingin hijrah. Bantu aku di sini." kataku kepadanya.
"Apa yang bisa saya bantu?" balasnya.
Aku tak langsung menjawab. Aku tutup kitab suci Al-Qur'an yang barusan kubaca.
"Mungkin ibu bisa bawakan ku buku-buku islami" jawabku.
"Kalau itu bisa saya bantu. Asal kamu berikan uang nanti saya beli"
Aku memberinya ratusan ribu uang. Esoknya petugas lapas perempuan itu membawakan buku-buku yang kupesan.
Hari ke hari aku banyak membaca buku-buku Islami. Aku dirikan shalat lima waktu juga shalat sunat selama dalam penjara. Bathin dan hatiku mulai merasakan kesejukan, tapi baru sedikit.
Halimun datang temuiku. Dia juga suka membawa buku Islami.
"Ayahmu ada?"
"Masih jarang pulang" jawab Halimun.
Aku tak lanjutkan bertanya. Aku sudah tahu, Pras pasti pulang ke rumah ibunya.
"Ibu mau kamu sabar dan tabah Halimun"
Halimun menatapku. Aku balas menatapnya. Aku lihat air mata menetes dari kedua bola mata putriku.
Aku tempelkan kedua tangan ke kaca, Halimun mengikuti gerakan tanganku. Ada perasaan yang sama kami rasakan.
"Waktu besuk selesai!" terdengar suara petugas lapas.
Halimun pulang ke rumah. Aku kembali ke dalam sel.
Beberapa hari setelah kedatangan Halimun, Pras sambangiku. Aku sebenarnya malas menemuinya. Tapi karena masih menghormatinya, aku tetap menemui Pras.
Pras kemudian bercerita mengenai Halimun dan kehidupannya pasca aku mendekam di penjara. Aku biasa-biasa saja merespon.
Kemudian sesuatu yang tak kuduga dari Pras datang. Pras bercerita kalau dirinya belum bercerai dengan Gianti.
Saat itulah keimanan dan kesabaranku diuji.
"Jadi sebenarnya aku sudah tahu siapa kamu sebenarnya Ivon. Aku memang benar adalah orang yang disuruh oleh Sulastri untuk mendekati kamu."
"Jadi selama ini..."
"Ya, ini semua tidak pernah kamu duga kan. Sulastri begitu ingin membalas dendam atas kelakuan suaminya yang kamu bunuh itu, karena Dia mencintai ibumu."
Mataku langsung melotot ke arah Pras. Aku sangat marah dan ingin sekali menusukan pisau ke leher Pras.
Tapi itu tak bisa aku lakukan. Aku benar-benar sedang diuji.
"Astaghfirullah" aku membathin.
Aku tak meneruskan percakapan dan langsung kembali ke sel.
Tak terasa masa hukumanku berakhir. Aku kembali bebas setelah tiga kali mendekam di balik penjara.
Di trotoar depan lapas, aku kembali berdiri untuk pulang ke rumah. Angin menerbangkan debu dan dahan-dahan kering.
Ingatanku masih begitu lekat dengan Pras. Apakah aku harus seperti dulu lagi? Menemui Pras dan mengakhiri hidupnya?
Sayup terdengar kumandang Adzan Ashar, memanggilku untuk bersedekap.
Apa yang mesti kulakukan kepada Pras?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H