Story About Ivona'5
Halimun tumbuh jadi gadis remaja. Dia sudah 17 tahun. Aku masih harus menjalani sisa masa hukuman kurang lebih 3 tahun lagi. Jadi kalau ku bebas, Halimun genap 20 tahun.
Pras, ayahnya, kata Halimun kepadaku, jarang pulang ke rumah. Halimun pernah memergoki ayahnya dengan seorang perempuan.
Aku berusaha berpikir positif di depan Halimun. Aku bilang mungkin Perempuan itu teman ayah. Tetapi Halimun bersikukuh, kalau teman tidak seperti itu.
"Memang ayahmu sedang apa sama perempuan itu?"
"Halimun lihat ayah dan perempuan itu keluar dari hotel, bu."
"Ya mungkin ayahmu baru membicarakan urusan pekerjaan."
Halimun terdiam. Aku menangkap wajah putriku seperti ingin membantah. Tetapi urung dilakukan.
Halimun lalu pergi tinggalkan ku sendiri di penjara ini.
Sama sekali tak terpikirkan olehku Pras akan macam-macam, selama ku di penjara.
Tapi setelah Halimun cerita, rasa percayaku sedikit berkurang kepada Pras. Lalu ku coba hubungi Pras lewat telpon. Dia tidak mengangkatnya beberapa kali ku hubungi.
Aku lalu meminta Halimun untuk cari tahu. Esoknya Halimun mengatakan yang sama.
Selain aku, Halimun juga sudah mulai tak mempercayai ayahnya. Halimun kemudian menunjukkan sikap tidak percaya kepada ayahnya, dengan jarang tidur di rumah.
Situasi ini membuatku tak nyaman. Kepalaku beberapa hari ini suka pusing. Aku takut penyakit lamaku akan kambuh. Aku minta cek kesehatan ke dokter penjara. Lapas yang bertugas menggiringku ke klinik.
Di dalam klinik, dokter yang kutunggu lama muncul. Aku lihat jendela klinik terbuka. Muncul niat jahat, aku mau kabur dari penjara.
Aku kunci ruang klinik dari dalam. Ku tengok kiri, kanan, atas dan sudut lain yang kemungkinan besar ada penjaga. Mata ku tak menangkap seorang pun penjaga.
Aku loncat dari jendela klinik. Berlari menyusuri sisi ruang klinik. Di belakang klinik ada lubang. Aku masuk lalu merayap. Lubang itu entah siapa yang buat.
Keesokan hari media ramai memberitakan kaburnya aku dari penjara. Aku takut. Tapi karena pikiranku kacau balau oleh informasi mengenai Pras bersama perempuan lain, rasa takut tak aku hiraukan.
Aku kemudian bersembunyi di sebuah tempat yang aman. Dari tempat itu aku langsung menghubungi Halimun.
Halimun datang. Kami berpelukan erat. Aku meminta Halimun kembali ke rumah dan berpesan jangan memberitahu kepada siapapun keberadaan ku, termasuk kepada ayahnya.
Ponsel aku matikan selama dalam persembunyian. Aku dan Halimun berkomunikasi secara langsung. Halimun datang ke persembunyian, setiap ku minta.
Selama dalam persembunyian, mendadak penyakit lama ku kumat. Aku berusaha melawan tapi tak bisa. Muncul kemudian naluri sadisku. Aku mau menemui Pras dan membunuhnya.
Halimun datang dan langsung melarang. Aku berontak dan lepas dari pegangan putriku. Aku berlari menuju jalan raya.
"BRAK!!!" Tubuhku tersungkur ke aspal dan setelahnya ku tak ingat apa-apa lagi.
Aku mulai siuman setelah sepekan tak sadarkan diri. Di sisi Brankar rumah sakit, mataku melihat samar Pras dan Halimun.
Aku ingin marah dan memukul Pras, tapi tak punya kekuatan. Di dekat pintu, ku juga lihat tak jelas seorang laki-laki berseragam polisi.
Halimun membisikan ke telinga ku, katanya aku harus kembali ke penjara setelah pulih.
Pras juga berbisik. Dia minta maaf karena tidak menjelaskan kepada Halimun, kalau perempuan yang bersamanya adalah saudara sepupunya.
Aku melihat wajah Halimun setelah Pras berkata begitu. Halimun tampak seperti bersalah padaku. Halimun kemudian keluar. Pras masih di sisiku.
Halimun pergi dan tak kembali setelah aku pulih dan kembali ke penjara.
Halimun kemudian mengirim pesan. Dia mengatakan bahwa yang dikatakan Pras, ayahnya, adalah bohong. Aku semakin bingung. Mana yang benar. Halimun atau Pras?
Perempuan itu bernama Gianti, anak Sulastri. Pras dan Gianti pernah menikah dan bercerai, sambung pesan Halimun.
Jadi selama ini Pras berbohong padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H