Tiba-tiba tangan orang yang memanggil itu menepuk bahu kiri ku. Aku kemudian jalan setengah lari ke arah kamar, tanpa menoleh.
Dia malah meraih tangan kiriku dan menariknya kuat. Aku berbalik arah dengan wajah nyaris mencium wajahnya. Aku tak berani membuka mata. Yang kurasakan kemudian ada wangi khas dari orang ini.
"Ivon..."
Setelah melawan segenap rasa takut, Aku akhirnya beranikan diri membuka mata, memandang wajah orang yang memanggil namaku dan menarik tanganku tadi.
"Bapak..." ujarku bergetar.
Rupanya, Pak Amrih yang ku duga sudah tewas, masih hidup. Aku amati seluruh tubuhnya. Sudah tua tapi masih terlihat sehat. Tubuh yang memang tak kulihat, apakah belasan tahun yang lalu, sudah benar-benar tak bernyawa, setelah Bayu temanku mengaku, sudah membunuhnya.
Belasan tahun yang lalu aku memang menyuruh Bayu untuk membunuh Pak Amrih. Aku kesal karena Pak Amrih tak mau mengaku sebagai bapakku, seperti isi surat yang diberikan Imron, suami mendiang Ibu kepadaku.
Waktu itu, aku tak melihat jasad Pak Amrih, apakah benar-benar sudah mati atau belum. Aku hanya mendengar pengakuan Bayu saja dan tidak menanyakan, dimana Bayu membuang atau menguburkan Pak Amrih.
"Ini semua karena ibumu tidak mau saya nikahi. Ibumu lebih memilih Imron, lelaki miskin itu, Ivon." Penjelasan Pak Amrih tadi, langsung membuatku heran. Aku tidak mengerti apa yang Dia maksudkan.
Pak Amrih lalu mendekatkan mulutnya ke kupingku. Dengan suara berat Dia berkata, bahwa yang terjadi selama ini adalah hasil skenarionya.
"Bayu tidak masuk penjara. Dia kabur setelah saya beri uang. Saya tidak mati, hanya sembunyi untuk balaskan dendam atas keras kepala ibumu yang tidak mau saya nikahi."
Lanjut Pak Amrih,