Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komunikasi Pancasila Kita

8 September 2017   10:34 Diperbarui: 8 September 2017   10:42 1647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terbongkarnya jaringan sindikat produsen dan penyebar hoax dan kebencian berbasis SARA, Saracen masih ramai diberitakan di media massa Indonesia. Aparat penegak hukum tampaknya tidak main-main untuk membongkar habis Saracen, bukan hanya sekedar jaringan distributor dan aktor produsennya. Sampai klien pengguna Saracen pun kini di kejar aparat penegak hukum.

Sebelumnya, di media sosial sudah banyak tersebar sejumlah orang yang "tercyduk," istilah warganet terhadap mereka yang ditangkap Kepolisian RI akibat ulahnya bermedia sosial. Ada seorang ibu rumah tangga yang akunnya penuh unggahan kebencian terhadap etnis tertentu ditangkap. Ada pula akun anak muda yang mengunggah banyak sekali foto/meme yang menghina aparat negara, juga ditangkap. Ada juga akun remaja yang begitu gagahnya menghina Kepala Kepolisian RI, namun begitu di satroni anggota Kepolisian RI sontak menjadi mangkret.

Dimasa Pemilihan Presiden Tahun 2014, tidak terhitung saling serang ujaran-ujaran kebencian terhadap pasangan calon. Walaupun Pemilihan Presiden sudah selesai dan pemenang sudah ditetapkan secara hukum, nyatanya bara sisa "pertempuran" masih terus menyala. Bara ini yang kemudian juga meletup kembali pada masa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.

Entah bagaimana awal mulanya, namun dapat diduga maraknya penggunaan akun media sosial untuk berbagai kepentingan beriringan dengan makin besarnya penetrasi internet terhadap penduduk Indonesia. Dalam isu-isu politik hal ini nampaknya dimulai mendekati tahun 2014 jika merujuk data penetrasi Internet yang belum begitu besar pada tahun sebelumnya. Tidak berlebihan jika membandingkan kampanye melalui internet (media sosial) Pilpres di Indonesia dengan apa yang terjadi saat Presiden Amerika Serikat, Barack Obama terpilih untuk yang kedua kalinya.

Namun sayangnya era kampanye dimana kandidat dan para pendukungnya mempromosikan kelebihan calonnya, juga membiarkan berkembangnya kelemahan (negative campaign) bahkan mengarah yang pada kampanye fitnah. Saya tidak mau menggunakan istilah kampanye hitam, black campaign, yang juga sudah mengandung diskriminasi. Residu sisa pergesekan era persaingan Pilpres inilah yang dibaca oleh kelompok tertentu sebagai market bagi bisnisnya. Bisnis informasi hoax dan ujaran-ujaran kebencian. Para pebisnis yang demikian inilah yang kemarin-kemarin sempat sukses "merekrut" para distributornya dengan biaya murah bahkan gratis untuk menyebarkan informasi hoax dan ujaran kebencian yang diproduksinya.

Bukan Demokrasi Kebablasan

Banyak pendapat yang menghubungkan maraknya ujaran kebencian dan hoax di media sosial dengan istilah demokratisasi yang kebablasan. Euforia Era demokrasi yang baru dinikmati setelah 32 tahun di kebiri oleh Soeharto, dianggap menjadi titik awal dimana semua orang merasa perlu "menikmati" kebebasan menyatakan pikiran, pendapat dan sikapnya. Semua orang merasa berhak untuk bersuara termasuk jika suara itu ternyata berisi hujatan, kebencian, kebohongan bahkan fitnah yang begitu merusak kerekatan sosial diantara sesama anak bangsa.  Solusi yang ditawarkan dari cara pandang "demokrasi yang kebablasan" inipun sejalan dengan formalisasi demokrasi, menyelesaikan dengan mekanisme hukum. Walhasil, pengeluaran negara untuk membiayai narapidana juga akan membengkak. Penyelesaian-penyelesaian secara sosiologis nampak kurang diminati karena sedang tingginya "kesadaran hukum" yang sedang digandrungi masyarakat.

Benarkah demokrasi yang baru dinikmati kembali setelah kejatuhan Soeharto tahun 1998 ini sudah dapat dikatakan kebablasan? Dengan mengatakan bahwa demokrasi sudah kebablasan, ini mengindikasikan adanya titik standar demokrasi atau bisa dikatakan ada titik final dimana demokrasi dirasa "cukup." Dimanakah titik cukupnya demokrasi?

Sebagai sebuah sistem yang diakui bukan sebagai sebagai sistem yang final, sebenarnya agak berlebihan jika dikatakan saat ini Indonesia sedang dalam situasi "kebablasan." Belum ada satupun ahli yang mengatakan bahwa sistem demokrasi sebagai sistem yang paling baik dalam menjalankan pemerintahan dan hidup bersama. Bahkan Amerika Serikat yang mengelu-elukan sistem demokrasi negerinya di berbagai belahan dunia lainnya juga tidak mengatakan bahwa sistem inilah yang paling baik dan final. Lebih dari 100 tahun Amerika telah mempraktekkan demokrasi, mereka tidak memfinalkannya. Karena itu tidak ada istilah kebablasan sebagaimana kosa kata bernafas politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini.

Demokrasi yang sedang dinikmati bangsa ini tidak dapat dikatakan kebablasan. Kalau eforia keterbukaan dan kebebasan masih begitu menggelora, wajar saja karena generasi yang dahulu merasakan berjuang menentang rejim otoritarian Orde Baru pun belum cukup lama memasuki era mereka berkiprah besar dalam perpolitikan praktis. DIsaat bersamaan glorifikasi keterbukaan dan kebebasan rasanya masih renyah menjadi dagangan politik.

Kita masih sering melihat bagaimana oknum-oknum yang ditindak aparat hukum karena ujaran kebencian, fitnah, dan sejenisnya terus berlindung dibalik idiom kebebasan dan keterbukaan guna melindungi dirinya. Padahal di negeri manapun, bibit kehancuran sebuah bangsa akan tumbuh subur disaat masyarakat abai terhadap nilai dasar kemanusiaan yang menjadi perekat kebersamaan. Jika ujaran kebencian terus dibiarkan, malah terus dipupuk, maka akan sia-sia upaya meruntuhkan rejim otoritarian Soeharto yang dulu pernah dilakukan.

Komunikasi Pancasila

Sebenarnya bangsa ini memiliki sebuah nilai dasar luhur yang dapat digunakan sebagai kerangka demokrasi sekaligus kerangka komunikasi ala Indonesia. Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasarnya bernegara di Indonesia sangat layak menjadi pijakan dalam berkomunikasi di negeri dengan berbagai keragaman yang dimilikinya.

Pancasila memang bukan monopoli satu atau beberapa kelompok. Akan bahaya jika tafsir terhadap Pancasila dimonopoli oleh pihak tertentu. Pancasila merupakan nilai yang diambil dari kebiasaan bangsa yang hidup sebelum Indonesia. Keluhuran-keluhuran nilai ini juga dimiliki oleh bangsa ini saat ini dan kelak. Maka menemukan kembali dan memperkuat nilai-nilai luhur inilah yang kita perlukan saat ini dan dimasa depan.

Melawan kelompok yang terus berupaya mengkerdilkan nilai-nilai luhur Pancasila dan Indonesia harus dilakukan secara bersama oleh bangsa ini. Dalam hal berkomunikasi, berkomunikasilah dengan panduan Pancasila. Proses sosiologis untuk kembali menumbuh suburkan Pancasila di dalam setiap prilaku individu bangsa ini mutlak perlu dilakukan.

Pertama, berkomunikasilah dengan keyakinan bahwa ada yang Maha Mengetahui setiap pesan yang kita sampaikan. Dengan cara demikian ini, perkataan-perkataan fitnah, bohong, hasutan, kebencian, dan lainnya akan diketahu oleh Tuhan YME dan pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan secara individual. Berkeyakinan kepada Tuhan YME yang mantap salah satunya dicirikan dengan perkataan-perkataan yang baik, jujur, etis, dan menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai sesama mahluk ciptaan-Nya.

Kedua,sampaikanlah pesan-pesan komunikasi bahkan yang berisi kritikan keras sekalipun dengan menjunjung kemanusiaan yang adil dan beradab. Tidak ada satupun manusia yang ingin diperlakukan tidak manusiawi, maka perlakukannya lawan bicara dengan cara yang manusiawi. Bersikap adil sejak dari pikiran juga perlu dilakukan. Mendasarkan komunikasi pada sikap yang tendensius akan membuat kita menjauh dari sikap adil terhadap manusia lainnya. Ciri dasar manusia adalah keberadaban, maka berkomunikasilah secara beradab terhadap manusia lainnya.

Ketiga, berkomunikasilah untuk mencapai persatuan Indonesia. Susah payah para pejuang memerdekakan Indonesia, karena itulah kita perlu menjaganya. Memusuh-musuhi bangsa sendiri bukanlah cerminan komunikasi Pancasila. Perbedaan yang menjadi dasar pembentuk Indonesia, bukanlah hal yang patut diperuncing hingga mencederai persatuan. Hanya karena berbeda pandangan tentang satu hal, tidak semestinya ujaran-ujaran permusuhan dengan bebas dilontarkan.

Keempat,bermusyawarah, bangunlah pengertian dan kesepahaman, dalam berkomunikasi diantara sesama bangsa Indonesia. Adakalanya memang proses berkomunikasi tidak berjalan mulus sesuai harapan karena banyaknya kemungkinan distorsi yang diterima lawan bicara. Namun hal ini pada prinsipnya mudah diselesaikan selama masing-masing pihak ingin membangun kejelasan dan pemahaman bersama. Sehingga tidak mudah bagi kita untuk melulu menyelesaikan urusan komunikasi hingga menjadi urusan Polisi.

Kelima, ciptakan kenyamanan dalam berkomunikasi bersama. Selalu berusaha untuk membangun kenyamanan dalam berkomunikasi akan berdampak positif dan konstruktif bagi kehidupan bersama. Ukurannya mudah, kalau kita merasa tidak nyaman dengan suatu pesan komunikasi, boleh jadi lawan bicara kita pun akan merasakan hal yang sama. Maka menjaga rasa nyaman didalam proses komunikasi perlu terus dipertukarkan bersamaan dengan pertukaran pesan yang berjalan.

Mengembalikan iklim komunikasi Pancasila penting dilakukan ketimbang memperdebatkan "demokrasi kebablasan." Kita sudah memiliki nilai luhur berbangsa yang telah jauh lebih teruji kemampuannya. Kita juga tidak mau didikte oleh pihak lain yang menginterpretasikan Pancasila sesuai kehendak kelompok atau golongannya. Kita hanya butuh kemauan untuk kembali melihat diri sendiri dan menilai praktek kemanusiaan kita berbekal keyakinan luhur Pancasila.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun