Padahal jika menyimak transkrip pidato secara utuh, penyebutan keempat partai tersebut dilakukan Viktor setelah menjelaskan pandangannya tentang bahaya ekstrimisme dan intoleransi yang, menurutnya, dibawa oleh para pengusung ide negara khilafah, yang di tingkat nasional kini terus menjadi warning bagi pemerintah.
Kekhawatiran inilah, yang dalam konteks situasi lokal, menurut Viktor, menguat dengan adanya dukungan keempat partai yang dia sebutkan. Karena itu, dia mengajak pendengarnya, yang apabila menjadi bagian di antara keempat partai tersebut untuk keluar, dan mencari partai lain. Dia juga mewanti-wanti agar pemilih calon kepala daerah untuk tidak mendukung ekstrimisme dan intoleransi dengan tidak memilih (calon yang diusung) keempat partai tersebut. Â Dengan demikian, pernyataan di dalam pidato tersebut erat kaitannya dengan situasi Pilkada yang akan berlangsung di 2018.
Demikian pula tudingan bahwa Viktor menganjurkan kebencian, apalagi persekusi politik, merupakan kesimpulan politis yang dibuat oleh partai tertentu yang disebut dalam pidato. Dalam situasi jelang Pilkada 2018 maka kesimpulan politis ini tentu memiliki tujuan bobot politis yang ingin dicapai.
Begitu pula dengan kesimpulan bahwa Viktor mengujar kebencian terhadap agama. Jelas penyimpulan yang demikian ini hanyalah penyimpulan secara politis terhadap pidato utuh yang disampaikan di Kupang, 1 Agustus 2017 itu. Kutipan transkrip pidato yang disebut di atas justru berisi pesan toleransi, yang justru menjadi pesan utama pidato Viktor.
Adapun persekusi politik yang disimpulkan dan menjadi narasi dari Partai Demokrat juga lebih nampak sebagai penyimpulan pendapat dalam kepentingan politis ketimbang hasil kajian mendalam atas isi pidato utuh. Pidato Viktor tidak sekali pun menyebut kata "persekusi". Begitu pula dengan anjuran pemburuan (sebagai makna persekusi menurut KBBI). Namun dalam tahun politik pilkada seperti saat ini, apapun bisa diseret-seret menjadi politis.
Alhasil
Setiap orang bisa memaknai teks secara berbeda-beda. Preferensi individual akan sangat mempengaruhi bagaimana teks dimaknai oleh individu. "Words don't mean, people mean"kata Alfred Korzybski (1879), pelopor ilmu general semantic. Maka keributan yang dihasilkan oleh pemaknaan dari kata adalah keributan karena beragamnya pemaknaan. Keributan bisa jadi lebih menggila karena adanya potongan-potongan wacana tidak utuh yang dimaknai individu.
Potongan video yang kemudian ditafsirkan masing-masing oleh warganet dan akhirnya juga menjadi perbincangan di masyarakat, menjadi riuh. Menyimpulkan tanpa melihat secara utuh teks dan konteks mengirinya akan lebih sering menjadi awal kesalahpahaman ketimbang menjadi penjelasan yang utuh dari sebuah situasi.
Maka sangat tepat kiranya anjuran yang disampaikan Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin bahwa forum klarifikasi lebih dibutuhkan ketimbang menimbulkan kegaduhan. Apalagi jika sampai menyeret isu yang dipersangkakan ke ranah keyakinan keagamaan. Ayo bertabayun..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H