Akhirnya, waktu pemungutan suara tahap kedua Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta berakhir, Rabu (19/03). Pukul 19.30 tampilan hasil perhitungan suara di kompas.com dan televisi nasional menunjukan selisih lebih dari 3% antara pasangan Anies R. Baswedan-Sandiaga S. Uno mengungguli pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.
Gubernur dan Wakil Gubernur Petahana dinyatakan kalah dengan hasil perhitungan cepat tersebut. Sorak-sorai menggelora dari kubu pasangan Anies-Sandi dan pendukungnya. Media sosial mengamplifikasi pernyataan kemenangan pasangan tersebut. Dari berbagai media online diberitakan pasangan Ahok-Djarot sudah menyatakan kemenangan Anies-Sandi dan bahkan Tim Pendukung menyatakan tidak akan mengajukan keberatan apalagi menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Langkah yang cukup rasional dan negarawan. Membangun demokrasi memang perlu kenegarawanan, bukan sekedar menang-kalah.
Eforia Kemenangan dan Kekecewaan
KPU DKI Jakarta memang belum memulai proses perhitungan, namun sebagai bagian dari masyarakat rasional, hasil kesimpulan perhitungan cepat dengan metodologi ilmiah cukup dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.
Para pendukung kedua belah pasangan calon menampakkan reaksi cepat atas hasil perhitungan. Rasa syukur, sorak-sorai, puji-pujian, bahkan sedikit ejekan dan saling sindir mengudara dari para pendukung pasangan yang dinyatakan menang. Sebagai pihak yang kalah, pernyataan kemenangan pihak lawan memang sedikit terasa panas. Mereka yang di ejek karena kekalahan tentu akan membalasnya dengan hal serupa. Alasan-alasan pun dikeluarkan untuk bertahan dari eforia kemenangan lawan.
“Alhamdulillah, kita gusur gubernur tukang gusur” bersanding dengan kalimat “Bukan Ahok yang kehilangan Jakarta, Jakarta yang kehilangan Ahok” dan “gue gak akan ucapkan selamat karena kemenangannya dari hasil curang” serta berbagai pernyataan saling sahut-menyahut merayakan hasil pesta demokrasi. Eforia ini tentu akan terus berlanjut sampai pelantikan, bahkan mungkin sampai saat-saat pertama Gubernur dan Wakil Gubernur baru menjabat nanti.
Sujud syukur pun telah dilaksanakan tim pendukung pasangan Anies-Sandi di Masjid Istiqlal yang menjadi salah satu Ikon dari keberagamaan dan keberagaman Indonesia. Masjid yang dibangun oleh arsitektur seorang non-muslim dan berada berdampingan dengan Gereja besar Katedral. Di sebelah yang lain, tim pendukung Ahok-Djarot berkumpul dan mengevaluasi kekalahannya, masih dengan perasaan kecewa, heran dan lainnya. “Jakarta perlu pembangunan, masih banyak yang perlu dibereskan. Ya kita lihat rasional saja," pernyataan dari tim Ahok-Djarot yang cukup bagus untuk menjadi pelajaran berdemokrasi.
Benar, Masyarakat Jakarta lebih membutuhkan kesegeraan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih untuk bekerja memenuhi isi perut, kantong, dan kepala warganya ketimbang sekedar bersikukuh untuk menjadi pemenang. Dewasa berdemokrasi, rasional mengambil keputusan.
Menjadi Warga Belajar
Mengikuti proses Pilkada DKI Jakarta kali ini memang cukup menguras energi. Kadang kelelahan, kadang bersemangat, sering juga emosional bahkan sangat mendebarkan. Betapa tidak, Pilkada DKI yang tingkatannya lokal sebagai sebuah pesta demokrasi serta merta berubah seolah menjadi nasional lingkupnya. Pertarungan-pertarungan ide dan gagasan untuk mensejahterakan rakyat Jakarta dalam sekejap berubah menjadi pertarungan isu fundamentalisme dan kebangsaan. Ide-ide perubahan untuk mensejahterakan tiba-tiba berubah menjadi isu-isu sektarian yang justru menjejakkan luka pada demokrasi yang telah susah payah dibangun para pendiri bangsa.
Walau bagaimanapun dinamikanya, Pilkada DKI telah memberi banyak pelajaran bagi warga DKI Jakarta. Setidaknya calon-calon pemimpin Jakarta sedapat mungkin mempertimbangkan apa yang terjadi dalam Pilkada 2017 dimana prestasi kerja dan kepuasan warga tidak berbanding lurus dengan pilihan warga. Maka untuk menggenapkannya, jagalah perkataan, berbaik-baiklah kepada siapapun termasuk musuh kesejahteraan rakyat, seperti koruptor, pengelola lokalisasi, bahkan pebisnis hitam, dan jangan lupa mempertimbangkan 80% populasi penduduk Muslim yang lebih dari setengahnya lebih mudah digerakkan oleh emosi sektariannya.
Pilkada DKI Jakarta kali ini juga telah banyak mengajarkan warga Jakarta untuk sadar bahwa apa yang terjadi pada dirinya merupakan perhatian hampir seluruh warga Indonesia secara keseluruhan. Anak kecil Jakarta yang dibully karena orang tuanya berbeda pilihan dengan mayoritas di Rawa Buaya juga merupakan perhatian bagi pejabat teras di pemerintahan di Nusa Tenggara Barat. Karena itu, jangan segan untuk berteriak agar se-Indonesia tahu, syukur kalau bahkan mau berbondong-bondong datang untuk membantu.
Bagi warga yang juga tim dan dan pendukung Ahok-Djarot kekalahan ini juga merupakan pembelajaran yang baik untuk terus konsisten memperjuangkan nilai-nilai hidup bersama yang baik bagi sesama.“Some times by loosing the battle, you find a new way to win the war” salah satu posting-an @sahal_as. Kekalahan dalam pertarungan kali ini adalah pelajaran untuk memenangkan demokrasi dan toleransi di masa depan.
Saya teringat sebuah film berjudul “Silence” (2017) yang menceritakan tentang misionaris, Katolik Jesuit, Pater Christovao Ferreira (dalam Bahasa Jepang bernama- Sawan Ochuan), di Jepang tahun 1633 yang jejaknya dicari oleh 2 orang pendeta muda pemberani Francisco Garupe dan Sebastiao Rodrigues.
Film ini menceritakan “para imam yang hilang” dibuka dengan tampilan seorang Pater dipaksa menyaksikan penyiksaan terhadap warga desa Nagasaki penganut Katolik oleh penguasa daerah. Pater ini dipaksa dengan berbagai cara untuk murtad dari keyakinannya dengan cara menghinakan (menginjak) simbol-simbol agamanya. Tidak tahan terhadap apa yang dilihatnya, sang Pater melakukan apa yang dimau penguasa daerah, ornamen bunda maria di injak sang Pater, dan salib diludahi. Penguasa senang dengan apa yang dilakukan sang Pater, dan banyak warga terselamatkan dari siksaan karena menganut Katolik.
Dalam percakapan dengan pendeta muda pencarinya (Rodrigues yang kemudian diberi nama Okada Sanyemon), Ferreira berkata “We were taught to love those who scorn us (Kita diajarkan untuk mencintai orang-orang yang mencemooh kita). Pendeta muda menampakkan keheranannya. Sawab Ochuan melanjutkan “Only Our Lord can judge your heart” (Hanya Tuhan yang dapat menilai apa yang ada di hatimu). Sejak kematian Ferreira, Okada Sanyemon (Pater Rodrigues) melanjutkan misi dengan “silence-” nya. Surat penyangkalan keimanan yang dimintakan oleh Penguasa Jepang tidak sulit dibuat Sanyemon demi menyelamatkan banyak orang hidup yang berkeyakinan Kristen.
But even if God had been
silent, my life...to this very
day...everything I do...everything
I’ve done...speaks of Him. It was in
the silence that I heard Your voice.
Film ini mengajarkan tentang penting dan utamanya mempertahankan nilai keimanan ketimbang simbol-simbol keimanan. Memperaktekkan keimanan dalam perilaku nyata lebih bernilai apabila harus mengorbankan lebih banyak nyawa demi simbol-simbol keyakinan. Kekalahan hari ini adalah cara Dia mengajar agar kita menemukan cara lain untuk menjaga keyakinan.
Keyakinan bahwa dalam demokrasi inilah kita dapat berkompetisi ide dan gagasan terbaik. Dalam situasi demokratis inilah bahkan nilai yang paling ekstrim sekalipun harus dikompetisikan bukan dengan cara dipaksakan lewat intimidasi.
Selamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H