Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media Sosial: Persepsi Kendalikan Reaksi

28 Februari 2017   18:33 Diperbarui: 28 Februari 2017   18:37 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Tidak perlu menanyakan maksud pernyataan/pertanyaan orang lain, tidak butuh mencari sumber referensi, segera asosiasikan dan tulis komentar. Beginilah fenomena yang teramati dari ramainya komentar atas unggahan yang saya lakukan.

Tanpa perlu kejelasan objek, tidak perlu tahu apakah makna kata sekedar gramatikal, konotatif, denotatif atau lainnya, asosiasi terhadap kata, frase dan kalimat dilakukan untuk segera berkomentar. Semua berlangsung cepat dalam proses persepsi dan bertindak setelahnya. Semua serasa ingin menjadi hakim atas pernyataan yang diunggah. “Bukan muslim,” “Fitnah,” bahkan anjuran untuk “Istighfar” (minta ampun) dilontarkan.

Ya, inilah yang oleh sebagian pengguna facebook dikeluhkan “kembalikan facebook seperti dulu, tempat bersenang.” Mungkin saya adalah salah seorang yang tidak ingin kembali ke masa lalu. Akan lebih menyenangkan menggunakan media sosial ini dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Biarlah orang menjadikan media sosial sebagai media baru untuk keperluan ekonomis, politis bahkan untuk kepentingan agamis. Yang kita perlukan adalah cara “menelan” dan “mengolah” informasi sehingga bisa bermanfaat.

Preferensi dan Asosiasi

Dari komentar atas unggahan yang dilakukan, mayoritas komentar menggunakan preferensi pengetahuan dan atau pengalaman keagamaan. Setelah itu preferensi politik, dan yang paling sedikit adalah preferensi (keeratan) sosial, pertemanan.

Entah karena memang masih dalam suasana kebatinan kasus “penistaan agama” yang begitu besar mempengaruhi persepsi atau karena memang saat ini sudah begitu mendalam pemahaman keagamaan teman-teman saya, tapi kental sekali komentar yang menggunakan preferensi agama, Islam, khususnya.

Mungkin juga karena masih dalam situasi politik Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta yang begitu heboh, teman-teman pun bereaksi menggunakan preferensi politik. Saya pun diasosiasikan sebagai pendukung salah satu partai pengusung salah satu calon kepala daerah DKI Jakarta.

Era kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat harus terus dipelihara dengan baik. Bukan dengan aturan yang terlalu ketat membatasi, namun bukan juga dengan membiarkan kebebasan tanpa aturan. Dalam kerangka yang demikian, pendapat dan pikiran yang disampaikan teman-teman melalui komentar adalah hal yang harus dihargai sepenuhnya.

Cukup menarik menyimak komentar-komentar yang segera mengasosiasikan pertanyaan saya dengan Rencana Kedatangan Raja Salman dari Arab Saudi. Kalimat “Dari 1500 tamu yang dibawa”, kata “Kepuncak” dan “Pisang” terduga menjadi dasar asosiasi sebelum mereka menuliskan komentar bahwa pertanyaan saya berhubungan dengan rencana kunjungan tersebut. Bahkan lebih jauh mangasosiasikannya dengan bangsa “Arab” dan fenomena “kawin kontrak” dan salah satu lokasi di kawasan “Puncak.”

Dari komentar-komentar yang ada diketahui bahwa fenomena “kawin kontrak” di kawasan Puncak, Jawa Barat telah menjadi pengetahuan umum yang setidaknya telah dimiliki oleh teman-teman yang berkomentar.  Setidaknya informasi dari media massa yang telah beredar luas di masyarakat, juga dikonsumsi oleh para komentator unggahan pertanyaan yang saya buat. Soal bagaimana persepsi para komentator terhadap terhadap fenomena “kawin kontrak” adalah soal lain. Namun komentar “pernah kawin kontrak dsono ya Oom” setidaknya merupakan gambaran referensi para komentator.

Dalam komentar atas unggahan yang sama, Kutipan Ayat Suci tentang larangan mencela (orang lain), anjuran bertaubat (minta ampun) hingga labelisasi “bukan muslim,” setidaknya memberi gambaran bahwa pemahaman keagamaan, Islam, yang menjadi rujukan untuk memberi komentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun