Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada, "Memilih yang Paling Mirip"

11 Februari 2017   03:40 Diperbarui: 11 Februari 2017   13:11 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dua hari kedepan, Proses Pilkada Baik di DKI Jakarta maupun tempat lainnya akan memasuki masa tenang. Kampanye sudah berakhir. Program dan strategi sudah maksimal dikeluarkan. Semoga tidak ada yang bersiasat di bilik suara atau ruang-ruang perhitungan. Karena itu akan cederai seluruh proses belajar masyarakat untuk berdemokrasi.

Selain bunga-bunga kata dan promosi kemasan, saling berbalas serangan menjadi pemandangan yang tampil di media memberitakan Pilkada. Wajar, karena siapapun berkehendak untuk menang dalam kompetisi ini. Masyarakat pun paham semua pasangan calon akan berjualan janji dan mengindentifikasi diri dekat dengannya. Bahkan untuk sekedar khayalan pasangan calon pun akan tetap dikonsumsi, walaupun mereka tahu itu hanya hayalan.

Belum lama, di minggu terakhir kampanye, Pasangan Anies Baswedan (Anies)- Sandiaga S. Uno (Sandi) merilis iklan [1]di media sosial yang mengidentikkan pilihan pasangan Cagub dan Cawagub seperti memilih pasangan hidup. Entah benar atau tidak video iklan tersebut merupakan iklan resmi pasangan Anies-Sandi, namun video ini menjadi viral di media sosial.

Wacana menarik yang dimunculkan adalah; pertama, serangan terhadap pasangan Agus H. Yudhoyono (AHY) – Silviana Murni yang di simbolkan dengan calon yang suka bagi uang (uang orang tua). Kedua,serangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot S. Hidayat (Djarot) yang disimbolkan dengan pasangan yang bicara kasar dan Beda Agama. Inti pesan iklan dalam video ini adalah “Pilih Calon yang Seiman, Pintar, Berpengalaman, Jujur dan Menyayangi, karena akan menjamin masa depan.”

Bagi saya sendiri, memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur sebenarnya tidak seperti memilih pasangan hidup. Karena pasangan hidup bagi saya hanya dipilih sekali untuk selamanya. Apapun kondisi pasangan hidup harus saya terima dan loyal terhadapnya. Tidak bisa serta merta meninggalkan pasangan apabila saya tidak puas dalam 5 tahun (satu periode).

Tidak demikian dengan memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur di kota saya tinggal. Saya harus tetap bisa dengan leluasa mengkritik, memukuli bahkan apabila tidak puas, saya pun bisa “menceraikannya” pada periode 5 tahun berikutnya.

Bagi saya memilih calon gubernur dan wakilnya seperti memilih karakter dan nilai hidup yang saya harapkan ada didalam sosok gubernur dan wakilnya nanti. Saya membenci praktik korupsi yang menyusahkan banyak orang, saya akan memilih pasangan yang juga punya bukti atas pengalaman yang sama. Saya tidak suka ada orang memanfaatkan kebaikan dan kelemahlembutan untuk kepentingannya sendiri, saya akan pilih pasangan yang berani , tegas dan jika diperlukan juga keras agar tidak dimanfaatkan orang lain. 

Saya tidak suka orang lain menyerang keyakinan Agama saya, maka saya juga akan memilih orang yang tidak suka mempermainkan Agama untuk kepentingan kekuasaannya. Saya senang dengan hasil kerja, maka saya memilih orang yang benar bekerja dan memperlihatkan hasilnya. Saya senang keteraturan dan ketertiban, maka saya akan memilih pasangan yang juga siap dan punya bukti tegas menerapkan aturan. Saya senang kerja sistematis, cepat dan efisien, maka saya pilih juga pasangan yang demikian. Semudah itulah saya menentukan pilihan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Kesamaan nilai dan karakter. Preferensi kesamaan agama bukan menjadi prioritas pilihan calon Gubernur, dan Wakil Gubernur buat saya. Karena pengalaman sebelumnya, seorang kepala negara yang tinggi ilmu agamanyapun dijatuhkan oleh orang-orang seagama dengan dalih yang dicari-cari.    

Proses kampanye Pilkada harapannya adalah memperbesar keyakinan bahwa calon yang sedang berkompetisi adalah calon yang paling dekat kemiripannya dengan karakter dan nilai yang saya selalu upayakan tertanam dalam diri sendiri. Namun sayang, proses kampanye yang demikian harus dinodai dengan berbagai isu rasial, diskriminasi dan politik identitas kegamaan yang justru menambah kekhawatiran saya terhadap masa depan kota ini. Harapan adanya perdebatan konseptual dan praktis menyelesaikan permasalahan kota dikecilkan menjadi perdebatan “penistaaan/penodaan agama.” Padahal karakter personal inilah yang perlu saya dan mungkin sebagian orang Jakarta butuh ketahui dari para calon gubernur dan wakilnya nanti.

Siapapun yang mencermati proses Pilkada DKI akan dengan mudah memahami bahwa pesan “pilih yang seiman” adalah narasi utama yang sejak awal digunakan baik oleh Agus-Silvy, maupun Anies-Sandi. Dalam berbagai kesempatan, kedua pasang calon ini berupaya keras untuk “memanfaatkan” keunggulan yang dimilikinya ini. Catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta (2015) mengatakan ada 8,5 Juta penduduk muslim DKI Jakarta. Komoditi inilah yang mungkin dianggap kedua pasang calon tidak berhak dijamah oleh pasangan Ahok-Jarot. Atau setidaknya menjauhkan komoditi ini dari pasangan yang disebut terakhir walaupun sebenarnya ada Djarot sebagai Cawagub yang tidak bisa luput dari pertimbangan kedua pasangan calon lainnya.

Konsistensi kedua pasang calon yang mengklaim mewakili Umat Islam ini sudah sejak awal ditunjukan dengan berbagai cara di berbagai kesempatan. Kedua pasangan calon ini meminta “restu” dari organisasi Islam agar dapat maju dalam proses Pilkada.

Agus-Silvi yang pertama mendatangi Kantor PBNU, tanggal 7 Oktober 2016, dan bertemu dengan pimpinan organisasi massa Islam dengan anggota terbesar di Indonesia itu. Bahkan merasa tidak cukup hanya PBNU, PP Muhammadiyah pun disambangi oleh pasangan ini setelahnya.

Sandiaga S. Uno memang sudah lebih dahulu datangi PBNU, tanggal 22 Juni 2016, untuk membangun identitas “pilihan umat-nya.” Namun saat itu Sandi masih berposisi sebagai bakal calon gubernur yang masih mencari bakal calon wakilnya. Namun percepatan politik akhirnya menentukan Sandi Uno hanya sebagai bakal calon wakil Gubernur dari Anies Baswedan.

Tidak berselang lama, Serangan terhadap pasangan Ahok-Djarot semakin diperkencang. Video kunjungan Ahok dalam pemberian bantuan kepada nelayan di Kepulauan Seribu menjadi peluru yang dilesatkan lawan politik untuk menjegalnya. Ahok dituduh menista/menodai agama Islam. Majelis Ulama Islam akhirnya mengeluarkan Fatwa (yang dalam proses persidangan diakui sebagai Pendapat Keagamaan) bahwa Ahok menodai Agama Islam. Puncaknya adalah aksi demonstrasi besar menuntut agar Ahok segera di proses hukum, ditangkap, ditahan, dan dipidanakan. Bahkan teriakan “Bunuh Ahok pun terdengar dalam aksi yang diberi label “Aksi Bela Islam,” “Aksi Bela Fatwa MUI”

Momen ini benar-benar menjadi santapan kedua pasangan untuk menaikan elektabilitas mereka. Terbukti dalam survei, Kedua pasangan calon ini memperoleh peningkatan elektabilitas yang cukup signifikan.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), orang tua Agus yang juga mantan Presiden RI, segera berpidato setelah aksi 411 “Aksi Bela Islam.” Hasilnya Elektabilitas Agus-Silvy pun terkerek naik. Pertunjukan kedekatan kepada umat dan ulama ditampilkan dalam berbagai kesempatan untuk menjaga elektabilitas.

Sampai menjelang aksi 212 “Aksi Bela Islam II” berlangsung, Tingkat elektabilitas Agus terbukti terjaga. Sebelum akhirnya pemerintah menangkap dan menahan sejumlah orang dengan tuduhan makar. Agus dan SBY menampilkan reaksi yang cukup berpengaruh pada momen ini.

Kekosongan inilah yang kemudian nampaknya dimanfaatkan Anies-Sandi dengan mendatangi FPI setelah juga memberikan pernyataan yang bernada dukungan terhadap aksi massa 4 November, dan 2 Desember 2016 dengan label “Aksi Bela Islam.” Terlihat strategi “lembut” Anies berubah dengan ikut serta membenarkan aksi bahkan turut menjadi resonator serangan terhadap Ahok-Djarot. Anies mulai keras dan berupaya mencitrakan dirinya adalah pilihan tepat umat Islam karena kedekatannya dengan FPI. 

Bahkan Anies-Sandi datang pada pertemuan di Masjid Al Azhar yang mendeklarasikan pilihan umat Islam sekaligus ikut memberi dukungan terhadap Imam Besar FPI, Riziq Shihab sebagai Imam Besar Muslim Indonesia yang saat itu mulai disidik kasus penistaan Pancasila oleh Polda Jawa Barat. Disini Agus-Silvi tampak “kecolongan” karena tidak turut serta hadir dalam pertemuan.

Merasa elektabilitasnya mulai menurun, SBY pun kembali berkoar di Media sosial. Pola yang digunakan masih sama. Menjadi korban dari serangan (imajiner) terhadap dirinya. Isu hoax dan fitnah menjadi peluru SBY kala ini. Sayangnya dalam survei terakhir yang dirilis oleh Indikator terlihat bahwa justru elektabilitas Agus-Silvy menurun drastis. Anies-Sandi berhasil “mencuri” kue elektabilitas dari Agus-Silvy lebih dari 20%.

Pada sisi lain, Ahok-Djarot juga mulai menikmati kue elektabilitas seiring dengan digelarnya sidang perkara penodaan agama. Kondisi ini terus meningkat sebagaimana disampaikan dalam hasil survei yang dikeluarkan Indikator yang dilakukan 2-8 Februari 2017. Siapapun pemenangnya nanti, rasionalitas harus terjaga baik. Bukan karena perbedaan suku, agama dan ras kita memilih calon administrator kesejahteraan warga kota. Namun karena kita paham karakter dan nilai hidup seperti apa yang harus dimiliki oleh administrator kota ini.

[1] https://www.youtube.com/watch?v=8XHmvxw5vWs

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun