Agus-Silvi yang pertama mendatangi Kantor PBNU, tanggal 7 Oktober 2016, dan bertemu dengan pimpinan organisasi massa Islam dengan anggota terbesar di Indonesia itu. Bahkan merasa tidak cukup hanya PBNU, PP Muhammadiyah pun disambangi oleh pasangan ini setelahnya.
Sandiaga S. Uno memang sudah lebih dahulu datangi PBNU, tanggal 22 Juni 2016, untuk membangun identitas “pilihan umat-nya.” Namun saat itu Sandi masih berposisi sebagai bakal calon gubernur yang masih mencari bakal calon wakilnya. Namun percepatan politik akhirnya menentukan Sandi Uno hanya sebagai bakal calon wakil Gubernur dari Anies Baswedan.
Tidak berselang lama, Serangan terhadap pasangan Ahok-Djarot semakin diperkencang. Video kunjungan Ahok dalam pemberian bantuan kepada nelayan di Kepulauan Seribu menjadi peluru yang dilesatkan lawan politik untuk menjegalnya. Ahok dituduh menista/menodai agama Islam. Majelis Ulama Islam akhirnya mengeluarkan Fatwa (yang dalam proses persidangan diakui sebagai Pendapat Keagamaan) bahwa Ahok menodai Agama Islam. Puncaknya adalah aksi demonstrasi besar menuntut agar Ahok segera di proses hukum, ditangkap, ditahan, dan dipidanakan. Bahkan teriakan “Bunuh Ahok pun terdengar dalam aksi yang diberi label “Aksi Bela Islam,” “Aksi Bela Fatwa MUI”
Momen ini benar-benar menjadi santapan kedua pasangan untuk menaikan elektabilitas mereka. Terbukti dalam survei, Kedua pasangan calon ini memperoleh peningkatan elektabilitas yang cukup signifikan.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), orang tua Agus yang juga mantan Presiden RI, segera berpidato setelah aksi 411 “Aksi Bela Islam.” Hasilnya Elektabilitas Agus-Silvy pun terkerek naik. Pertunjukan kedekatan kepada umat dan ulama ditampilkan dalam berbagai kesempatan untuk menjaga elektabilitas.
Sampai menjelang aksi 212 “Aksi Bela Islam II” berlangsung, Tingkat elektabilitas Agus terbukti terjaga. Sebelum akhirnya pemerintah menangkap dan menahan sejumlah orang dengan tuduhan makar. Agus dan SBY menampilkan reaksi yang cukup berpengaruh pada momen ini.
Kekosongan inilah yang kemudian nampaknya dimanfaatkan Anies-Sandi dengan mendatangi FPI setelah juga memberikan pernyataan yang bernada dukungan terhadap aksi massa 4 November, dan 2 Desember 2016 dengan label “Aksi Bela Islam.” Terlihat strategi “lembut” Anies berubah dengan ikut serta membenarkan aksi bahkan turut menjadi resonator serangan terhadap Ahok-Djarot. Anies mulai keras dan berupaya mencitrakan dirinya adalah pilihan tepat umat Islam karena kedekatannya dengan FPI.
Bahkan Anies-Sandi datang pada pertemuan di Masjid Al Azhar yang mendeklarasikan pilihan umat Islam sekaligus ikut memberi dukungan terhadap Imam Besar FPI, Riziq Shihab sebagai Imam Besar Muslim Indonesia yang saat itu mulai disidik kasus penistaan Pancasila oleh Polda Jawa Barat. Disini Agus-Silvi tampak “kecolongan” karena tidak turut serta hadir dalam pertemuan.
Merasa elektabilitasnya mulai menurun, SBY pun kembali berkoar di Media sosial. Pola yang digunakan masih sama. Menjadi korban dari serangan (imajiner) terhadap dirinya. Isu hoax dan fitnah menjadi peluru SBY kala ini. Sayangnya dalam survei terakhir yang dirilis oleh Indikator terlihat bahwa justru elektabilitas Agus-Silvy menurun drastis. Anies-Sandi berhasil “mencuri” kue elektabilitas dari Agus-Silvy lebih dari 20%.
Pada sisi lain, Ahok-Djarot juga mulai menikmati kue elektabilitas seiring dengan digelarnya sidang perkara penodaan agama. Kondisi ini terus meningkat sebagaimana disampaikan dalam hasil survei yang dikeluarkan Indikator yang dilakukan 2-8 Februari 2017. Siapapun pemenangnya nanti, rasionalitas harus terjaga baik. Bukan karena perbedaan suku, agama dan ras kita memilih calon administrator kesejahteraan warga kota. Namun karena kita paham karakter dan nilai hidup seperti apa yang harus dimiliki oleh administrator kota ini.
[1] https://www.youtube.com/watch?v=8XHmvxw5vWs