Konsep "rasa cinta yang tak pernah mati" pada dasarnya berkenaan dengan upaya menemukan cinta sejati. Dimana, seseorang merasa yakin bahwa dirinya ditakdirkan untuk mendampingi orang tertentu. Seringkali cinta sejati di dalam benaknya berupa pangeran tampan yang menunggangi kuda putih. Sedangkan bagi pria, cinta sejatinya berupa putri cantik di sebuah kastil yang tengah menunggu dirinya untuk ia selamatkan dari mahluk jahat.
Perasaan klise seperti itu biasa ditayangkan pada adegan-adegan romantis sebuah film. Mungkin ide tentang cinta sejati, atau yang biasa Gen Z sebut "setiap orang punya jodohnya sendiri", memiliki makna yang kuat dan relevan. Tapi ini tergantung konteks yang terjadi, seperti hubungan romantis yang lama atau dalam kenangan tentang seseorang yang telah wafat. Atau seperti yang digambarkan pada sebuah karya sinematik berjudul "OMG! Oh, My Girl (2022)".
Sebagaimana film Thailand bergenre komedi-romantis lainnya, "OMG! Oh My Girl" memiliki adegan-adegan humor yang maksimal. Blak-blakan. Tak kenal malu, atau sebut saja apa yang memiliki sinosim "lucu banget".
Perbedaannya hanya terletak pada cerita yang fokus pada karakter utamanya. Tanpa aktor pendukung dari kalangan pelawak, pemeran utamanya mampu men-deliver pesan hingga penonton terpingkal-pingkal di atas kursi. Ada rasa geli yang aneh, disertai rasa gregetan atas setiap adegan serta pilihan yang dibawakan oleh masing-masing karakter tersebut.
Sinopsis OMG! Oh My Girl
Cerita diawali dengan narasi bernada plot twist. Dimana dua muda-mudi bercengkrama di sebuah bangku lapangan olahraga sebuah kampus; dan ternyata, Guy (yang diperankan Sky Wonggravee Nateetorn) sebagai karakter utama pria berada jauh di pojokan. Wajahnya yang terlihat polos menatap sedih peristiwa dimana June (diperankan June Plearnpichaya Komalarajun) yang menjadi pujaan hatinya jadian dengan sahabatnya sendiri, Phing (Michael Pugh).
Belum habis rasa sedih merasukinya, tuhan berkendak lain. Cuaca seketika berganti menjadi mendung. Hujan di bulan Juni turun deras. Pasangan June dan Phing tampak kalut. Guy yang membawa payung kala itu merasa memiliki kesempatan untuk membantu gadis pujaannya. Namun saat payung terkembang, angin kencang merusak alat yang dibawanya. June dan Phing berlari-lari mesra di tengah hujan. Di saat bersamaan, Guy malah kepayahan atas garis takdir yang terjadi di hari itu.
Guy sendiri sebenarnya mahasiswa populer. Gampang mendekati gadis-gadis lain seumurannya. Wajahnya yang tampan, postur badannya yang tinggi dan bidang memudahkannya memikat gadis lain. Belum lagi, ia memiliki 3 (tiga) saudari yang mau membantunya mencarikan pasangan.
Berikutnya, Guy jadian dengan mahasiswi populer lainnya yang tak kalah cantik. Namun hatinya masih terpaut dengan June. Bukannya tanpa sebab, perasaan itu ada semenjak June menjadi gunjingan mahasiswa lain karena mudahnya ia putus-nyambung dengan pria lain. Kemudian, Guy menemukan koneksi yang pas melalui jalinan persahabatan, yang segera berubah menjadi perasaan romantis dalam waktu singkat.
Pada adegan selanjutnya, film besutan sutradara Thitipong Kerdtongtawaee ini terus bercerita tentang komitmen, kejujuran, pengertian, dukungan, serta kesetiaan Guy merawat perasaan cinta tak pernah matinya itu hingga akhir kisah, yang dipenuhi plot twist dimana-mana. Sebuah ending yang tak terduga, saya menyebutnya.
Bahkan Banjir Jadi Keliatan Romantis
Jika di Indonesia banjir merupakan komoditi politikus menjatuhkan lawan politiknya, di film OMG! Oh My Girl ini banjir malah dibuat menjadi romantis. Untuk sekedar informasi, Kota Bangkok tak jarang mengalami banjir di beberapa titik lokasi. Thitipong selaku sutradara tak segan memperlihatkannya, bahkan disertai kemungkinannya terjangkitnya leptospirosis.
Saya yang menyaksikannya di bangku penonton terserang rasa panik dan jijik. Akan tetapi rasa tersebut mereda seiring rasa penasaran dari dialog antara Guy dan June yang jaga-image, dan diselingi adegan romantis.
Film ini telah tayang di Thailand semenjak November lalu. Konsepnya memang beda, setidaknya dari semua film-film Thailand bergenre sama yang pernah saya tonton. Semenjak dari awal kisah sudah disuguhi plot twist. Terus begitu hingga di setiap adegannya. Saya sebagai penonton tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bahkan hingga sampai akhir cerita. Akhirnya, saya biarkan pikiran ini mengalir bersama kisah yang berjalan, tanpa harapan yang muluk-muluk.
Semua rasa, mulai dari lucu, romantis, sedih, kesal, gregetan, aneh, senang, hingga bingung, bercampur aduk menjadi satu selama 2 jam lebih. Tak terasa hingga kisah ini habis, lalu saya mendapati karya sinema komedi-romantis satu ini cocok ditonton oleh kelompok Gen Z yang terkenal mudah mengalami mental-breakdown.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H