Bihar mengakui bahwa isi dari karya film pendek berdurasi 23 menit itu tidak terlepas dari pengalamannya menyaksikan kekerasan di dalam rumah tangga selama lahir dan dibesarkan di Tasikmalaya, Jawa Barat.Â
Lalu, Â pertanyaan terkait pemakaian dua bahasa sunda dan jawa merupakan bagian dari kultur warga Tasikmalaya adalah perihal yang masih belum jelas terjawab saat sesi Q&A bersama penonton kemarin.
Namun satu hal yang paling berani dari dirinya adalah tidak menutup-nutupi apa yang semestinya tampil di dalam film, termasuk adegan saat hubungan badan suami dan istri ditayangkan. Ini juga termasuk kehadiran brand produk, seperti Facebook, Whatsapp (WA), Tiki, Bayclin, dan lain sebagainya.
"Kami tidak sembunyi-sembunyiin apa yang sudah tertulis di naskah. Tampilannya seperti apa yang sudah dibuat di dalam naskah," sambung Alumnus ASEAN-ROK Film Leaders Incubator tahun 2019 itu.
Dalam kesempatan doorstop di area studio 4, Empire XXI, Yogyakarta, Bihar Jafarian mengaku bahwa diperlukan waktu sekitar setahun lamanya untuk mengembangkan ide dari film berdurasi 23 menit ini. Mulai dari pembuatan naskah cerita, riset materi, sesi konsultasi, hingga post-production. Itu sudah termasuk proses produksi yang memakan waktu hanya 3 (tiga) hari.
Karya milik Bihar menjadi satu dari 146 film yang tayang di salah satu studio Empire XXI, Yogyakarta dan mendapat sambutan positif dari penonton. Bagi dirinya, tidak ada alasan spesifik dengan turut memeriahkan Jogja-Netpac Film Festival yang memasuki tahun ke-17 tersebut.
"JAFF sebagai salah satu wadah tempat kumpulnya kawan-kawan sineas mulai dari amatir, develop, hingga profesional dan sesepuh. Sebuah kebanggaan bisa menjadi bagian dari karya yang tampil di JAFF," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H