Mohon tunggu...
Dhul Ikhsan
Dhul Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

"Confidence is fashion" Follow, coment, and like IG : @sandzarjak See you there.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kupas Singkat Feminisme dalam Karya 23 Menit di Jogja-Netpac Film Festival

5 Desember 2022   09:21 Diperbarui: 7 Desember 2022   03:40 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Maybe Someday, Another Day, But Not Today (2021)". Sumber : jaff-filmfest.org

Proses maraton saya menelusuri koleksi film di 17th Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) berlabuh sejenak pada sebuah karya berjudul "Maybe Someday, Another Day, But Not Today (2021)". Film pendek ini berdurasi 23 menit, dan masuk dalam katalog Asian Perspective Short yang ditayangkan pada hari Jumat (2/12/2022) kemarin.

Pengambilan sudut gambar yang natural, diiringi sound effect beritme pas, serta jalan cerita yang ringan menjadikannya tampak nyaman dinikmati. Namun dibalik itu semua, isu yang diangkatnya merupakan sebuah perdebatan yang panjang di era modern ini : kebebasan perempuan.

Ide yang diangkat oleh Bihar Jafarian sejatinya bukanlah sebuah karya dengan penjelasan yang utuh dan mendalam. Kisahnya lebih kepada kegelisahan sang sutradara sebagai pria yang menyaksikan sendiri bagaimana sistem patriaki memerangkap kebebasan perempuan Indonesia.

Film ini bagi saya cukup menarik karena pesan feminisme diangkat justru dalam sudut pandang seorang pria, yang mana karakter utama pria didalam kisahnya mengambil keuntungan atas privilege-nya selaku seorang kepala rumah tangga.

Terdapat suatu proses dimana sang suami menciptakan mekanisme penahan yang berakibat pada keterlibatan seorang istri hanya di kisaran sumur, dapur, dan Kasur. Perihal ini muncul pada adegan Tiara (yang diperankan Sendra Hestiningrum) meminta izin kepada suaminya untuk bekerja.

Pada salah satu adegan itu, Tiara yang yang tengah menyetrika baju berharap dapat membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh cuci-setrika di salah satu rumah kerabat tetangganya. Syahdan, sang suami tidak menyetujui dengan alasan yang tampak absurd.

Adegan tersebut sangat singkat, dengan percakapan yang sangat singkat pula. Dominasi Tedi (diperankan Billy Ramadaniel) sebagai suami sangat terang dijelaskan. Mulai dari awal kemunculannya, posisi duduk, bahkan hingga adegan persetubuhan keduanya di atas ranjang.

Sekali lagi, pesan yang diangkat pada film berdurasi 23 menit tersebut merupakan isu yang menjadi perdebatan panjang antara kaum positivis (religius) dan kelompok kritis. Sebagaimana film itu habis tayang, maka kehendak penonton yang menyimpulkan, untuk mendukung atau tidak atas nilai-nilai yang dibawa. Atau justru ingin menjadi penengah di antara kedua pendapat? Bisa juga.

Film Pendek di Jogja-Netpac Film Festival

Secara umum, isu kesetaraan hak dan peran di dalam rumah tangga sesungguhnya sangat dinamis. Segala sesuatunya bisa saja bergantung pada satu, dua, atau lebih alasan yang menciptakan konflik terjadi. Di dalam rumah tangga itu sendiri tidak ada jaminan dominasi yang lebih pintar dan berkuasa akan lebih bijak menentukan pilihan.

Bihar mengakui bahwa isi dari karya film pendek berdurasi 23 menit itu tidak terlepas dari pengalamannya menyaksikan kekerasan di dalam rumah tangga selama lahir dan dibesarkan di Tasikmalaya, Jawa Barat. 

Lalu,  pertanyaan terkait pemakaian dua bahasa sunda dan jawa merupakan bagian dari kultur warga Tasikmalaya adalah perihal yang masih belum jelas terjawab saat sesi Q&A bersama penonton kemarin.

Namun satu hal yang paling berani dari dirinya adalah tidak menutup-nutupi apa yang semestinya tampil di dalam film, termasuk adegan saat hubungan badan suami dan istri ditayangkan. Ini juga termasuk kehadiran brand produk, seperti Facebook, Whatsapp (WA), Tiki, Bayclin, dan lain sebagainya.

"Kami tidak sembunyi-sembunyiin apa yang sudah tertulis di naskah. Tampilannya seperti apa yang sudah dibuat di dalam naskah," sambung Alumnus ASEAN-ROK Film Leaders Incubator tahun 2019 itu.

Dalam kesempatan doorstop di area studio 4, Empire XXI, Yogyakarta, Bihar Jafarian mengaku bahwa diperlukan waktu sekitar setahun lamanya untuk mengembangkan ide dari film berdurasi 23 menit ini. Mulai dari pembuatan naskah cerita, riset materi, sesi konsultasi, hingga post-production. Itu sudah termasuk proses produksi yang memakan waktu hanya 3 (tiga) hari.

Karya milik Bihar menjadi satu dari 146 film yang tayang di salah satu studio Empire XXI, Yogyakarta dan mendapat sambutan positif dari penonton. Bagi dirinya, tidak ada alasan spesifik dengan turut memeriahkan Jogja-Netpac Film Festival yang memasuki tahun ke-17 tersebut.

"JAFF sebagai salah satu wadah tempat kumpulnya kawan-kawan sineas mulai dari amatir, develop, hingga profesional dan sesepuh. Sebuah kebanggaan bisa menjadi bagian dari karya yang tampil di JAFF," tutupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun