Kemunculan ICONNET yang begitu tiba-tiba ibarat anak kucing yang baru lahir di tanah nusantara. Lucu, menggemaskan, berjalan di antara kucing-kucing dewasa lainnya.
Entitas milik PLN ini memang membawa kabar baru, khususnya penawaran harga yang miring. Akan tetapi, melawan pemain-pemain lama yang sebelumnya mengisi jagat layanan fixed broadband internet tidaklah semudah itu.
Belum lagi antara PLN dan Telkom Indonesia sama-sama dari BUMN. Posisi mereka cukup menjadi perhatian, karena sejatinya mereka berdua menggarap bidang usaha yang berbeda. Lalu kenapa bersaing di ceruk yang sama?
PLN sendiri dikenal sebagai perusahaan yang mengurusi kebutuhan listrik negara. Sedangkan Telkom menjadi garda terdepan di dalam memenuhi kebutuhan akses informasi dan komunikasi seluruh rakyat Indonesia. Ibaratnya, ketika warga sedang asyik-asyiknya menikmati layanan internet rumah "IndiHome", muncul pendatang baru layaknya petir di siang bolong. Yup! Tanpa diduga, PLN mengumumkan produknya yang bernama ICONNET itu tanpa pakai pendahuluan yang proper.
Publik, khususnya pengguna IndiHome, tentu langsung mencium aroma persaingan dari sesama BUMN. Tapi tahu kah kamu, kalau kedua entitas milik negara ini pernah menjalin kerjasama sebelumnya di bidang layanan internet pada tahun 2001?
PT. PLN dengan Telkom Indonesia pernah loh melakukan kerjasama di tahun 2001. Hal itu sebagaimana yang tercantum di dalam milestone milik situs ICON+.
Indonesia Comnet Plus yang didirikan pada 3 Oktober 2000 langsung diberikan mandat oleh PT. PLN untuk mengkomersialisasikan aset mereka di bidang telekomunikasi.
Teknologi yang berkembang saat itu memungkinkan penghantar listrik menjadi akses last mile bagi Power Line Communication (PLC). Tahap pengembangannya membutuhkan waktu 35 minggu, dan memanfaatkan kerjasama dengan operator Telkom serta beberapa perusahaan swasta.
PLC merupakan teknologi koneksi kabel untuk memberikan pasokan energi listrik, dan sekaligus mentransfer data dan transmisi suara di saat bersamaan. Teknologi ini mampu menghasilkan transmisi data dengan kecepatan mencapai 256 Kbit hingga 45 Mbit per detiknya, atau hampir setara dengan penggunaan fiber optic.
Upaya pengembangan PLN terus berlangsung dengan didapatnya izin penyediaan internet dan telepon bagi publik pada tahun 2005. Ekspansi konektivitas atas jaringan komunikasi ke berbagai wilayah terpencil Indonesia menjadi alasan mereka. Hingga kemudian, ICON+ mengkomersialisasikannya di tahun 2008.
Sepanjang 2008 hingga tahun 2020 teknologi internet berbasis kabel listrik (broadband over powerline) tak jua mendapat sambutan baik di pasaran. Maka, pada tanggal 1 Juni kemarin, layanan internet PLN kembali hadir dengan nama baru. Transformasi ICONNET hadir atas optimisme meningkatnya pengguna fixed broadband internet tanah air.
Tercatat bahwa di tahun 2020 peningkatannya mencapai hingga 15 persen. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan di era adaptasi kebiasaan baru. Internet menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang bekerja remote di rumah, dan pelajar yang menjalani pembelajaran jarak jauh. Sungguh menjanjikan.
Hitung-hitungannya adalah pada akhir Juni 2020 pelanggan PLN diangka 77,19 juta, yang tersebar hingga ke seluruh Indonesia. Rasa penasaran tentu bukan alasan mereka untuk serius menggarap di segmen yang sama.
Konsisten terhadap diversifikasi usaha sejatinya dapat meningkatkan kapasitas hutang, dan mengurangi resiko kebangkrutan. Apalagi kalau diversifikasi berfokus di dalam ceruk yang sepenuhnya belum banyak tergarap.
Kembali ke PLN, alih-alih mengembangkan pasar potensial mereka di wilayah pedesaan dan wilayah terpencil lainnya, mereka menggarap kota-kota besar dengan pendekatan harga yang miring. Hal ini bertolak belakang dengan visi mereka pada tahun 2008 lalu.
Kehadiran ICONNET di awal bulan Juni ini juga mendapat tantangan, karena pada Kamis (25/6/20210) kemarin PLN mengaku memiliki utang sebesar Rp500 trilyun. Publik akan mengira PLN menjadikan salah satu entitasnya sebagai pengeruk uang demi menutupi tagihan hutang.
Kondisi semacam ini memang pelik. Akan tetapi melawan saudaranya sendiri juga tidak akan hadir solusi. Menurut hemat kami, sebaiknya dilalui dengan pola sinergi bersama BUMN lainnya. Membangun persaingan sesama perusahaan negara hanya menjadikan ekosistem BUMN menjadi tak sehat.
Bukankah Badan Usaha Milik Negara sejatinya hadir untuk menjaga sumber-sumber penting milik bangsa untuk kepentingan rakyatnya? Maka ada baiknya kedua perusahaan tersebut duduk kembali berembuk untuk mengatasi perihal ini, karena ada rakyat di bawah mereka untuk dilayani.
Sinergi yang sekiranya terbangun tidak hanya memperkuat perusahaan negara yang terkait dari sisi usaha, tapi juga dalam bidang sosial, terutama perihal pemenuhan kebutuhan internet bagi warga hingga ke perbatasan negeri.
Dari 200 juta-an rakyat Indonesia, 8 juta nya sudah menjadi pelanggan IndiHome. Brand milik Telkom Indonesia tersebut sudah menjadi top of mind. Jaringan fiber optic IndiHome telah menjangkau 496 kota/kabupaten (96,5%), 5.115 kecamatan (72,1%), dan 34.285 kelurahan/desa (42%). Artinya terdapat ceruk kosong untuk dimanfaatkan ICONNET mewujudkan pemerataan akses internet, baik dengan bisnis model sendiri atau dengan sinergi bersama Telkom Indonesia. Hal ini juga yang menjadi pesan Presiden Joko Widodo terkait pemerataan jaringan digital nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H