Saya mengikuti tiap episode miniseri ini seperti halnya turis yang mendatangi suatu lokasi. Tanpa asumsi macam-macam. Enam episode tanpa jeda dengan total keseluruhan satu jam saya habiskan saat itu juga via platform Genflix. Ketika pertama kali melihat judulnya saya langsung tertarik untuk membuka serial ini.
"Friendshit" dalam bayangan saya dipenuhi adegan berantem-berantem manja dua insan yang mengaku sahabat. Sebuah hubungan ambigu antara cinta dan tak mau kehilangan. Tapi saya tidak menemukan itu secara eksplisit di sepanjang episode yang saya tonton. Saya lebih banyak melihat dampak yang dihasilkan persahabatan mereka kepada orang-orang disekitarnya.
Pertemanan yang kacau justru tidak terfokus antara Arlan dan Kana. Saya malah melihat mereka baik-baik saja. Apalagi kedua orangtuanya merestui Arlan tidur disamping Kana, dan selalu mengajak keduanya untuk menikah.
Solusi selalu tersedia bagi Arlan-Kana, namun tidak bagi hubungan keduanya dengan teman-teman, kekasih, maupun tetangganya. Sehingga bagi saya, filler cerita "Friendshit" tampak kasar dan dipaksakan.
Dibalik kekurangan tentu ada kelebihan. Serial yang dibintangi Ian Meyer dan Sonya Soraya ini kuat pada bagian colour palette yang dipilih sang sutradara. Pewarnaannya tampak cermat dan terasa segar.
Sudut pengambilan gambarnya juga dibuat sedemikian rupa agar para pemeran menampilkan ekspresi maksimal kepada penonton. Konsepnya jauh lebih baik dibandingkan sinetron kejar tayang Indonesia, meski dari segi audio masih minim.
Dibalik masih banyaknya kekurangan di dalam miniseri ini, setidaknya masih ada kemungkinan industri hiburan Indonesia mulai mengalami pergeseran selera, yang menurut saya lebih sinematis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H