40 tahun lamanya ibu saya tidak menikmati hiburan di bioskop. Waktunya datang ketika ia menyaksikan trailer film Si Doel Anak Sekolahan di layar kaca.
Ibu saya meminta kepada anak-anaknya diajak ke bioskop terdekat. Beliau tak sabar menonton kisah yang selama 26 tahun itu mengalami masa hiatus.Â
Kami pun menyanggupi.Â
Saat sampai di depan pintu Studio 4, XXI Mall Artha Gading, saya saksikan bahwa film ini tidak saja diminati oleh para lansia. Tapi juga remaja, bahkan anak-anak di bawah usia 13 tahun. Secara, film ber-genre drama-komedi ini memiliki rating usia 13 tahun. Meski demikian, hal tersebut tak mengurangi minat keluarga Jakarta membawa serta anak, cucu, orang tua, hingga kakek-neneknya.Â
Saya hampir saja kecewa karena menemui fakta bangku penonton pada jam tayang pukul 18.45 Wib telah penuh.Â
Begitu menemui spot bangku yang bagus di jam tayang 19.15, saya tak ragu memesan.Â
Tak mengapa dapat lebih lama, asal bangku penonton didapat.
Tampaknya, kisah hiburan sejak tahun 1994 itu telah benar-benar menempati hati di masyarakat Indonesia.Â
SinopsisÂ
Mandra begitu senang diajak bareng keponakannya ke kota Amsterdam. Hans yang mengundang.
Hans memang meminta Doel secara pribadi membawa properti kebutuhan festival Betawi yang akan diikutinya nanti, sebulan lagi.Â
Namun dikarena beratnya barang bawaan, Doel lebih memilih bersama Mandra menuju kota Tulip ketimbang dengan Zaenab.Â
Atun yang terus-menerus digoda Mandra merasa kesal dan cemburu; sekaligus meningkatkan daya nalar perempuan tersebut. Atun curiga, Hans punya rencana tersembunyi dengan khusus mengundang suami Zaenab tersebut ke Amsterdam.
Hal ini Atun sampaikan ke Zaenab yang tidak tahu sebelumnya bahwa Hans sepupu dari Sarah. Akibatnya, drama pun bermula.Â
ResumeÂ
Permainan scene Amsterdam-Jakarta dalam Si Doel the Movie sangat berkesan bagi saya. Seakan, jarak keduanya tidak lebih dari se-pelemparan batu.Â
Kualitas cerita pun sangat khas Si Doel zaman 90-an. Konsisten dengan kearifan budaya Betawi, Si Doel the Movie menggabungkan unsur etnis lain dan modernitas ibukota Belanda.Â
Konsistensi ini yang menjadi nilai jual Si Doel the Movie. Selain menjual romansa era 90-an, ia-nya juga memberi edukasi baik akan keragaman kota Jakarta.Â
Kehadiran Mandra yang berbicara tanpa henti patut mendapat apresiasi pula. Gayanya me-lenong berhasil memperkuat genre film ini.Â
Hanya saja sayang, akting Cornelia Agatha agak melenceng dari karakter asli Sarah.Â
Jika merunut kisah kepergian Sarah dari Indonesia dapatlah kesimpulan bahwa karakter istri Si Doel tersebut ialah independen, dan kuat. Namun sepanjang kehadiran Cornelia yang saya saksikan adalah aktingnya yang terus merajuk dengan mimik melankolis.Â
Saya tidak yakin, apakah ini intepretasi Cornelia sendiri atau arahan dari sang sutradara?Â
Meski ada ganjalan pada intepretasi Sarah dalam film ini, hal tersebut menempati sedikit porsi pada film.
Tugas selanjutnya dari Si Doel the Movie ini adalah di bagian pengembangan cerita; akibat beberapa penambahan karakter yang muncul.Â
PenutupÂ
Pengarah cerita pada Si Doel the Movie sangat apik memanfaatkan kondisi kekinian para aktornya. Segala kelebihan dan kekurangan pemeran asli Si Doel dimanfaatkan untuk bahan cerita sehingga alurnya tampak alami.Â
Film ini juga bagus untuk mengkondisikan kembali akibat trauma masa-masa kolonialisme.Â
Si Doel the Movie menjelaskan betapa dekatnya Jakarta dan Amsterdam. Sehingga jarak 11.355 kilometer serasa mampu ditempuh dengan bus Trans Jakarta.Â
Film ini berhasil membayar kerinduan penggemar lama mereka. Pun, mampu menambah penggemar baru mereka dari zaman millenial.Â
Bagi saya, Si Doel the Movie layak mendapat 5 juta penonton, serta apresiasi karena kecakapannya mengadaptasi serial sinetron ke layar lebar.
Trailer film:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H