Ruang Klasse, lantai 2, Morissey Hotel Jakarta tampak dipenuhi panitia Diskusi Publik Sektor Ekonomi Sosial dan Keuangan Syariah. Tidak begitu pesertanya; mereka berdatangan satu per satu memenuhi bangku kala beberapa puluh menit presentasi Direktur jasa keuangan dan BUMN Bappenas  berlangsung.
Paparan perkembangan keuangan syariah di Indonesia tampak sedingin AC ruangan. Pak Muhammad Chalifi Hani mengaku bosan bicara tentang potensi keuangan syariah di Indonesia. Telah berkali-kali disampaikan di muka umum bahwa potensi ekonomi syariah di berbagai sektor industri Indonesia sangat lah besar.
Antusias beliau untuk menjabarkannya karena percaya diskusi kemarin menghasilkan sekumpulan ide dan strategi memenangi semangat warga Indonesia menjadi pemain keuangan syariah dan produk halal global.
Contoh paling nyata adalah kuliner halal. Total pengeluaran industri makanan halal secara global mencapai 1.245 milyar US$, di mana jumlah ini akan terus membengkak hingga 1.930 US$ pada tahun 2022.
Indonesia ikut berkontribusi sebagai negara dengan tingkat konsumsi makanan halal terbesar di dunia. Kalkulasi global mencapai 169,7 milyar US$.
Permasalahannya, tingkat impor bahan baku dan produk makanan halal Indonesia tidak sebanding dengan ekspor kita. Jadilah, Indonesia besar dikonsumsi tapi kerdil sebagai produsen.
Suasana Diskusi
Peserta diskusi kemarin (11/7) adalah pribadi-pribadi yang terlibat di lembaga keuangan dan keagamaan. Mereka terdiri dari perwakilan Bank Indonesia, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Perekonomian, Kementerian Koperasi dan UKM, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Majelis Ulama Indonesia.
![Dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/07/18/img-20180711-103351-5b4f36ef6ddcae29746b9bc2.jpg?t=o&v=770)
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama sangat menginginkan adanya solusi yang hadir mengatasi minimnya minat warga bangsa menjadi produsen keuangan syariah; yang alih-alih lebih suka menjadi penikmat saja.
Arahan Presiden Republik Indonesia pada rapat pleno Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) pada 5 Februari lalu, terdiri dari 3 hal:
1. Mengembangkan visi besar pengembangan ekonomi syariah Indonesia melalui penyusunan rencana induk strategi nasional pengembangan ekonomi syariah.
2. Mendorong implementasi Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal untuk mendukung pengembangan industri halal.
3. Mendorong percepatan dan fungsi sektor keuangan syariah untuk memberikan dukungan pembiayaan bagi ekonomi syariah.
Oleh karenanya presentasi pada hari itu untuk menginjeksi kembali wawasan peserta perihal kondisi pengembangan keuangan syariah dalam negeri. Sehingga, seluruh peserta bersama Bimas Islam dapat mengatur strategi yang efektif dan efisien dengan dana operasional yang terbatas demi mewujudkan amanat undang-undang.
Industri halal dunia bukan saja sekedar kuliner; ada banyak kiranya. Dari kosmetik hingga obat-obatan. Pariwisata pun demikian; negara-negara non-muslim pun turut bermain sebagai produsennya.
Melalui sengitnya pembahasan setelah diskusi kala itu, saya dapat memahami bahwa menyatukan ide menguasai keuangan syariah dan industri halal global masih lah sangat panjang. Karena, alih-alih berbicara teknis dan pragmatis, para peserta begitu concern dengan pembagian tugas masing-masing lembaga.
Resume
Sempat terdapat keinginan adanya kajian ulang mengenai tugas dan kewajiban masing-masing lembaga terkait KNKS ini yang terdapat di dalam undang-undang.
Jika kembali kepada paparan presentasi sebelumnya, kerangka pengembangan ekonomi syariah sangatlah kompleks dan berjenjang. Ada yang lingkupnya seputar 'sumber daya insani'. Di mana lingkup ini tidak hanya kelembagaan, tetapi juga infrastuktur dan Halal Value Chain.
Penguatan keuangan syariah melalui pembiayaan dan insentif pemerintah pun penting. Namun yang paling krusial adalah di lingkup edukasi masyarakat dan publikasi riset serta asesmen sebagai penunjang koordinasi dan kerjasama antar pihak yang berkepentingan.
89% total penduduk Indonesia adalah muslim. Sejatinya, diskusi ini haruslah fokus kepada stakeholder secara keseluruhan, bukan tentang  apa lembaga ini atau siapa lembaga itu. Sehingga memberi kesan akhir yang kuat tentang lu-lu-gue-gue (kurang peduli).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI