Pada pukul 6.20 sore Medan Merdeka Barat tampak sepi. Ketika memasuki area museum, saya langsung diarahkan oleh pihak keamanan museum menuju venue yang terletak di gedung B.
Meja registrasi cukup sibuk mengurusi kehadiran para peserta. Begitu mendekat, mereka menanyakan nomor kepesertaan. "109," Saya katakan, lalu mereka menyodorkan name tag beserta buku kecil museum nasional dan 2 lembar kupon makan, lalu meminta saya memasuki gedung B museum.
Di depan area penyimpanan barang terdapat meja panjang yang melayani makan malam peserta. Di sanalah tujuan berikut saya; menukar kupon makan malam dengan box set yang diisi dengan makanan khas lokal.
List itenary menyebutkan pukul 6.30-7.00 sore adalah persiapan bagi peserta muslim memenuhi kebutuhan ibadah mereka. Saya tunaikan kewajiban tersebut di mushola parkiran, dan segera kembali ke lantai dasar museum setelahnya.
Tiba-tiba, gema suara memantul tak jelas di gedung B Museum Nasional. Jam di handphone saya menunjukkan 19.05 Wib. Gema tersebut berasal dari ujung utara gedung, sedangkan saya duduk di cafe yang terdapat di ujung selatannya. Digerakkan rasa penasaran, saya pun mendekati sumber suara dan menyadari bahwa acara utama akan segera dilaksanakan. Namun terlebih dahulu, ke-150 peserta dipecah menjadi beberapa kelompok. Saya pun kebagian di kelompok Ganesha bersama 7 orang lainnya (seharusnya 9 orang, tetapi lainnya datang terlambat).
Night of the Museum Nasional saat itu lebih dipenuhi para muda-mudi. Ada yang sudah bekerja, ada pula yang masih berkuliah. Bahkan, di kelompok kami terjadi momen layaknya program "tali kasih". Saat perkenalan dimulai, seorang peserta memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Universitas Indonesia jurusan Antropologi. Hebohlah seketika tim Ganesha karena kedua peserta perempuan lainnya adalah lulusan di kampus dan jurusan yang sama. Mereka pun reunian di sela-sela wisata malam.
Selain muda-mudi lokal, ada pula wanita kewarganegaraan asing ikut berkontribusi. Ia tampak kalem dan asik mengikuti sesi perkenalan per kelompok. Beberapa orang yang telah melewati paruh waktu usia pun turut hadir dan kembali muda-bersemangat. Atmosfer gedung B Museum Nasional dipenuhi rasa penasaran menemui koleksi-koleksi yang mungkin saja bergerak dan bernyawa layaknya versi film Hollywood.
Setiap kelompok memiliki start area masing-masing. Setelah mengumpulkan segala peralatan yang memiliki fungsi rekam-potret kedalam satu kantong kain, tim Ganesha menaiki lift menuju lantai 4, Ruang Khasanah Emas dan Keramik. Seluruh ruangan di lantai teratas ini wajib steril dari lensa kamera karena memeragakan koleksi-koleksi berharga dan langka yang tiada duanya di dunia.
Seorang pemandu amatir memperkenalkan saya dengan Prajna Paramitha. Tampak cantik, anggun, dan berkharisma. Saya pernah bertemu dengannya sekali beberapa tahun lalu di lantai yang sama. Saya tidak mengetahui jika wanita ini adalah salah seorang ratu di kerajaan Singhasari sebelumnya.Â
Tren masyarakat Budha Indonesia di abad 14 adalah mendewakan raja dan ratu mereka. Kala kepergian sang ratu dari dunia yang fana ini, masyarakat kuno itu mengabadikan sang ratu dalam bentuk patung. Sang Prajna pun ditasbihkan sebagai perwujudan ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan kecerdasan.
Melalui lekuk tubuh dan keanggunan paras wajah sang Prajna Paramitha, kemudian saya menyadari tersisipnya memori standar kecantikan wanita di abad 14. Saya ikutan jatuh cinta dengan dirinya yang dikira orang kebanyakan adalah Ken Dedes. Anggapan itu salah. Ini lebih agung dari sekedar kisah-kisah kolosal. Sampai-sampai saya tak tega meletakkan tangan saya yang kotor di atas kaca pelindungnya.