Acara ini bertajuk Night of the Museum Nasional. Terdengar penuh petualangan nan mendebarkan.
"Night of the Museum" sejatinya dikenal publik sebagai judul franchise film Hollywood. Karya sineas Shawn Levy ini hasil adaptasi dari novel karangan Milan Trenc berjudul sama.
Dalam kisahnya, Larry Daley yang diperankan Ben Stiller mengalami problem hidup yang membawanya kepada profesi penjaga malam American Museum of Natural History, kota New York.Â
Sebagaimana suasana malam museum yang pasti sepi, pekerjaan Larry terkesan begitu mudah. Hingga koleksi-koleksi museum pun hidup dan bergerak bagaikan bernyawa di suatu malam, dan menghadirkan petualangan bagi duda beranak itu.
Film ber-genre fantasi komedi tersebut dirilis pada 22 Desember 2006. Tujuan diputarnya "Night of the Museum" ke publik Amerika pada khususnya demi menggairahkan semangat warga mendatangi museum-museum yang ada. Suatu ide yang menarik, menurut saya.
Namun, ide Museum Nasional Indonesia lebih ekstrem lagi dari sekedar film. Pada tanggal 21-22 April kemarin diselenggarakan "Night of the Museum Nasional". Kegiatan ini dibuka ke publik Indonesia melalui media-media yang memungkinkan untuk diakses, seperti halnya: website, Instagram, Grup aplikasi Whatsapp, dan lain sebagainya.
Diakui oleh panitia bahwa selang beberapa jam dibukanya pendaftaran kegiatan ini langsung diserbu oleh netizen Indonesia. Hal ini menunjukkan minat warga atas inisiatif manajemen Museum Nasional Indonesia tersebut sedemikian besar.
Saya pribadi langsung tertarik begitu muncul flyer di salah satu grup Whatsapp saya. Pikiran ini terkoneksi dengan trilogi film berpendapatan 574,5 juta U.S Dollar tersebut. Lalu, jemari ini pun  bergerak cepat mengisi formulir yang tersimpan dalam sistem Cloud-nya.Â
Benar saja. Begitu e-Mail masuk, saya mendapatkan pesan yang menyatakan diri ini menjadi salah satu peserta yang berhak atas kesempatan wisata malam Museum Nasional. Nomor kepesertaan saya 109 dari kuota sebanyak 150 orang. Pesan tersebut saya dapatkan beberapa jam setelah ikut mendaftar. Bisa dibayangkan kan, betapa kritisnya pendaftaran acara tersebut di jam-jam awal opening-nya?
Ibu Dedah Rufaedah Sri Handari dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman mengakui bahwa kegiatan wisata malam ini hasil pengembangan lebih lanjut Museum Nasional demi mendekatkan diri dengan masyarakat Indonesia. Di mana, para peserta akan disuguhi kegiatan berkeliling museum bersama sajian deskripsi singkat-padat dari para guide, dan menikmati acara hiburan yang telah mereka persiapkan.
Ringkasan Kegiatan
Pada pukul 6.20 sore Medan Merdeka Barat tampak sepi. Ketika memasuki area museum, saya langsung diarahkan oleh pihak keamanan museum menuju venue yang terletak di gedung B.
Meja registrasi cukup sibuk mengurusi kehadiran para peserta. Begitu mendekat, mereka menanyakan nomor kepesertaan. "109," Saya katakan, lalu mereka menyodorkan name tag beserta buku kecil museum nasional dan 2 lembar kupon makan, lalu meminta saya memasuki gedung B museum.
Di depan area penyimpanan barang terdapat meja panjang yang melayani makan malam peserta. Di sanalah tujuan berikut saya; menukar kupon makan malam dengan box set yang diisi dengan makanan khas lokal.
List itenary menyebutkan pukul 6.30-7.00 sore adalah persiapan bagi peserta muslim memenuhi kebutuhan ibadah mereka. Saya tunaikan kewajiban tersebut di mushola parkiran, dan segera kembali ke lantai dasar museum setelahnya.
Tiba-tiba, gema suara memantul tak jelas di gedung B Museum Nasional. Jam di handphone saya menunjukkan 19.05 Wib. Gema tersebut berasal dari ujung utara gedung, sedangkan saya duduk di cafe yang terdapat di ujung selatannya. Digerakkan rasa penasaran, saya pun mendekati sumber suara dan menyadari bahwa acara utama akan segera dilaksanakan. Namun terlebih dahulu, ke-150 peserta dipecah menjadi beberapa kelompok. Saya pun kebagian di kelompok Ganesha bersama 7 orang lainnya (seharusnya 9 orang, tetapi lainnya datang terlambat).
Night of the Museum Nasional saat itu lebih dipenuhi para muda-mudi. Ada yang sudah bekerja, ada pula yang masih berkuliah. Bahkan, di kelompok kami terjadi momen layaknya program "tali kasih". Saat perkenalan dimulai, seorang peserta memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Universitas Indonesia jurusan Antropologi. Hebohlah seketika tim Ganesha karena kedua peserta perempuan lainnya adalah lulusan di kampus dan jurusan yang sama. Mereka pun reunian di sela-sela wisata malam.
Selain muda-mudi lokal, ada pula wanita kewarganegaraan asing ikut berkontribusi. Ia tampak kalem dan asik mengikuti sesi perkenalan per kelompok. Beberapa orang yang telah melewati paruh waktu usia pun turut hadir dan kembali muda-bersemangat. Atmosfer gedung B Museum Nasional dipenuhi rasa penasaran menemui koleksi-koleksi yang mungkin saja bergerak dan bernyawa layaknya versi film Hollywood.
Setiap kelompok memiliki start area masing-masing. Setelah mengumpulkan segala peralatan yang memiliki fungsi rekam-potret kedalam satu kantong kain, tim Ganesha menaiki lift menuju lantai 4, Ruang Khasanah Emas dan Keramik. Seluruh ruangan di lantai teratas ini wajib steril dari lensa kamera karena memeragakan koleksi-koleksi berharga dan langka yang tiada duanya di dunia.
Seorang pemandu amatir memperkenalkan saya dengan Prajna Paramitha. Tampak cantik, anggun, dan berkharisma. Saya pernah bertemu dengannya sekali beberapa tahun lalu di lantai yang sama. Saya tidak mengetahui jika wanita ini adalah salah seorang ratu di kerajaan Singhasari sebelumnya.Â
Tren masyarakat Budha Indonesia di abad 14 adalah mendewakan raja dan ratu mereka. Kala kepergian sang ratu dari dunia yang fana ini, masyarakat kuno itu mengabadikan sang ratu dalam bentuk patung. Sang Prajna pun ditasbihkan sebagai perwujudan ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan kecerdasan.
Melalui lekuk tubuh dan keanggunan paras wajah sang Prajna Paramitha, kemudian saya menyadari tersisipnya memori standar kecantikan wanita di abad 14. Saya ikutan jatuh cinta dengan dirinya yang dikira orang kebanyakan adalah Ken Dedes. Anggapan itu salah. Ini lebih agung dari sekedar kisah-kisah kolosal. Sampai-sampai saya tak tega meletakkan tangan saya yang kotor di atas kaca pelindungnya.
Sang guide kembali menjelaskan kalau koleksi patung Prajna Paramitha ini satu-satunya yang tersisa di dunia, dan Indonesia secara terhormat memilikinya.
"Pernah seorang pengunjung dari negara lain jauh-jauh datang ke Indonesia hanya untuk bersua dengan sang ratu, lalu menangis di hadapannya karena saking langkanya maha karya tersebut." Demikian tutup guide kami. Saya pun meletakkan telapak tangan saya ke bibir, dan melemparkannya sebagai ciuman abadi kepadanya.
Tak jauh dari sana, berdiri utuh Shiva Mahadewa bernuansa kelam. Di beberapa bagian tubuhnya dilapisi emas, terutama di bagian bibirnya. Ia dikenal Shiva Bibir Emas, satu-satunya koleksi yang ada di dunia.Â
Arca ini ditemukan di Sungai Wadas. Pahatan tembaganya tampak sempurna dan memiliki persamaan dengan teknik pembuatan arca dari India Timur. Para ahli sepakat sang Shiva Bibir Emas merupakan sosok arca yang belum ada tandingannya di dunia. Satu-satunya koleksi utuh sang Shiva berbibir emas hanya ada di Indonesia, dan diletakkan secara hati-hati dan penuh pengamanan di museum ini. Satu lagi kebanggaan negeri.
Lantai 4 gedung B ini benar-benar memikat hati. Mata saya seakan-akan dipenuhi kilauan di sana-sini. Maha karya langka dan simbol kemakmuran nusantara yang begitu menggoda. Sekali lagi, ketentuan terbatas membuat kami tak dapat mengabadikannya dalam citra digital.
"Orang-orang taunya museum ini adalah museum gajah dikarenakan patung yang ada di samping saya ini," tutur perempuan di hadapan kami. Lalu ia flashback ke tanggal 24 April; di 240 tahun yang lalu, hingga dibangunnya gedung bersejarah ini.
Awal berdirinya museum nasional tidak ada sangkut pautnya dengan patung gajah. Beberapa tahun setelah didirikannya, Raja Siam (Thailand), Yang Mulia Chulalongkorn berkunjung resmi ke museum pada tahun 1871. Tertarik dengan koleksi yang ada, Y.M Rama V justru memberikan hadiah patung gajah ke pihak museum. Maka ditempatkan lah patung tersebut di halaman depannya. Namun di karena kebiasaan orang melayu beri julukan, banyak orang Indonesia mengenal Museum Nasional sebagai museum gajah. Hingga sekarang.
Para peserta juga tak luput mengikuti presentasi pahatan Ku Yakin Sampai Di Sana. Judul karya I Nyoman Nuarta ini mirip judul lagu yang didendangkan Rio Febrian.Â
Memang demikian adanya: patung Ku Yakin Sampai Di Sana memiliki pertalian yang erat dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pusat perbincangannya. Pencipta lagu dan pemberi nama patung adalah presiden R.I ke-6 tersebut. Bentuk patung bagaikan pusaran waktu yang tak bertepi; timeless. Di sela-sela arusnya terdapat karakter-karakter orang dalam berbagai rupa dan cerita. Orang-orang menyebutnya hanyut. Namun, pemandu kami  bernarasi bahwa patung tersebut menggambarkan perjuangan penuh keikhlasan, semangat, dan menjunjung tinggi persatuan, hingga mencapai hasil yang maksimal.
Di bagian akhir touring, kami disuguhkan kisah-kisah mengerikan benda-benda peninggalan lokal. Koleksi milik lantai 2 gedung B Museum Nasional bagaikan kumpulan barang yang harus diwaspadai; magis dan menyeramkan. Saya tidak dapat membayangkan jika tetiba sang pemilik pusaka bergerak bagai bernyawa layaknya film Night of the Museum.
Sisa waktu sepuluh menit di lantai 2 ini memang kurang memuaskan. Kami hanya disuguhkan deskripsi dan narasi dua benda saja: senjata mandau suku Dayak dan Tunggal Panaluan yang berbentuk tongkat dari suku Batak. Alhasil, para peserta bagaikan diburu waktu alih-alih diburu kisah menegangkan. Kegiatan kami bagaikan anti-klimaks.
Penutup
Kekecewaan kami menguap setelah disuguhkan acara kuis dan pembagian hadiah menarik dari panitia. Pertanyaan-pertanyaan yang disisipkan di sebuah jejaring website mengharuskan kami berolahraga jari-jemari. Kekurangan dari kuis semacam ini dari segi kuota internet di telepon seluler dan sinyal penyelianya. Hal ini dikarenakan tidak difasilitasinya WiFi oleh pihak museum. Kami pun berusaha sekuat sinyal provider memberikan layanannya.
Ada yang berhasil menjawab, ada pula yang tidak. Hadiah dibagikan oleh pemenang pun kami tak mempermasalahkan. Acara terus berlangsung ke dialog interaktif, panggung musik, hingga penayangan film lawas "Badai Pasti Berlalu" diperani Roy Marten dan Christine Hakim. Seiring layar berpendar gelap di pukul 3 pagi, Night of the Museum Nasional ikut selesai. Pikiran kami beristirahat dalam indahnya mimpi.
Satu hal yang kami tunggu di kemudian hari adalah janji akan kembalinya "Night of the Museum Nasional" dalam episode berikutnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H