"Namun bila kau ingin sendiri, cepat-cepatlah sampaikan kepadaku. Agar ku tak berharap, dan buat kau bersedih."
Ayah saya adalah seorang pelaut dan sempat mengalami masa-masa sulit paska ditinggal cerai oleh istri pertamanya di Surabaya. Rasa cinta kepada mantan istrinya yang cantik itu serasa tak berujung dan tak kesudahan. Hingga ia memutuskan tinggal di Jakarta bersama keluarga adiknya.
Suatu ketika ayah saya bersama iparnya datang berkunjung ke rumah salah satu kenalan dari desa sebelah, dan melewati ruang dapurnya yang tengah penuh itu. Meski disesaki orang, mata ayah saya mampu menangkap wajah manis seorang gadis dari desa Bajo, Luwu, Sulawesi Selatan. Sungguh keterlaluan kiranya jika saya mengatakan ia tidak terpesona; karena seketika itu juga ia berkata kepada iparnya sendiri berniat menikahi sang gadis.
Sepulang dari berkunjung, di hari itu juga, keluarga ayah saya heboh. Setelah mengalami patah hati yang cukup parah, akhirnya ia membuka hati kepada seorang gadis yang belum pernah eksis selama ini.
Dibentuklah tim mak comblang yang dipimpin adiknya. Mereka pun datang ke rumah yang menjadi kenalan sang kakak.
Diketahuilah saat itu bahwa rumah tersebut milik bibi dari sang gadis. Dipantau gerak-gerik sang gadis - didekati - lalu diajak bicara barang sebentar - disetujui - lalu dibicarakan secara kekeluargaan dengan keluarga bibinya. Cepat bukan? Ibu saya saja mengaku tak tau adanya konspirasi tersebut.
Meluncurlah sebuah surat pinangan rahasia yang berbunyi, "Ada pemuda kenalan saya ini yang mau melamar anak kamu. Terima segera! Dia pemuda baik-baik." Begitu isi yang dibaca ayah sang gadis di kampung. Namun beberapa hari kemudian, surat pinangan lain datang dari pujaan hati si Te'ne. Dilematis.
Kakek saya secara pribadi punya standar etika. Secara umum, pinangan pertama yang datang adalah pinangan yang lebih dulu diproses. First come, first serve. Kala itu, kakek saya tidak langsung menyetujui pinangan ayah saya karena belum pernah bertemu sebelumnya. Kemudian datang ayah saya bersilahturahim ke kampung dan dengan tegas mengajukan lamaran resmi. Gentlemen banget lah, pokoknya.
Lamaran ayah saya pun diterima dengan baik oleh keluarga ibu saya.
"Bila nanti saatnya t'lah tiba, ku ingin kau menjadi istriku. Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan; berlarian kesana-kemari dan tertawa."
Apakah ibu saya tidak bahagia karena dinikahi bukan oleh pujaan hatinya?Â