Mohon tunggu...
Sandy Gunarso
Sandy Gunarso Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Komunikasi

Berhenti memuaskan orang karena kepuasan tiada batasnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orangtua adalah Arsitek Kesuksesan Sang Anak

11 April 2022   20:58 Diperbarui: 11 April 2022   21:53 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rutinitas di dalam rumah sangat mempengaruhi pola pikir anak hingga tingkah lakunya di masa depan. Kedekatan dengan orang-orang di sekitarnya, juga sangat mempengaruhi tumbuh kembang serta nalarnya untuk mengenal dunia. Seringkali sebagian orangtua meremehkan kondisi tumbuh kembang anak, terutama pada usia 0-12 tahun.

Banyak anggapan yang mereka sampaikan. Mulai dari anggapan bahwa anak masih terlalu kecil untuk mendapatkan keterampilan atau pengetahuan lain sampai anggapan bahwa perilaku anak sudah turunan dari orangtuanya sehingga tidak perlu lagi dipusingkan. Padahal, kalau orangtua salah memberikan arahan selama kurun waktu itu, maka orangtua sedang membentuk kebiasaan anak selama 12 tahun. Artinya, anak dibiarkan melakukan kebiasaan yang salah di masa perkembangannya selama 4.380 hari bukan lagi 21 hari sebagai patokan perubahan kebiasaan orang menurut para ahli.

Ibarat sebuah pohon, akarnya sudah menjalar ke dalam tanah selama 12 tahun, maka akar itu terlalu kuat mencengkram tanah hingga sulit untuk dicabut. Dengan begitu, sangat wajar jika banyak orangtua akan kewalahan menghadapi tingkah laku anak saat mereka beranjak remaja. Padahal, kesuksesan atau kegagalan anak dapat dirancang sejak mereka masih kecil.

Sebenarnya, banyak pakar sudah memetakan kehidupan dan perkembangan anak berdasarkan pada kelompok usia anak, perkembangan mental di kelompok usianya, siapa berperan apa, hingga hasil dari keberhasilan pola pendidikan itu. Berikut ini penjelasannya.

1. Usia 0-3 tahun

Pada rentan usia ini, anak-anak belajar tentang kepercayaan dan kecurigaan. Sosok sang ibu menjadi penting untuk mendampingi sang anak melalui masa ini. Anak akan bereaksi setiap rangsangan yang diberikan oleh sang ibu. Misalkan, saat anak menolak makan, harusnya orangtua memintanya baik-baik dengan makanan tambahan seperti es krim, minuman manis, atau lain sebagainya. Bukan justru menipu dan menakutinya dengan sesuatu yang tidak masuk akal, seperti ditangkap polisi, masuk penjara, diculik hantu, atau lain sebagainya.

Pada usia ini, anak sungguh mempercayai setiap perkataan dari orangtuanya saat mereka melakukan sesuatu. Mereka biasanya berpikir sederhana dan pasti melakukan sesuatu jika orangtua meyakinkannya untuk melakukan suatu kegiatan. Anak butuh keyakinan saja sebab mereka masih belum mengerti apapun sehingga masih belum berani melakukannya sendiri. Karakter seperti itu biasanya dikenal orang dewasa sebagai kecurigaan. Padahal ya memang anak belum berani melakukannya saja.

Kalau orangtua terus menerus memberikan motivasi dan dukungan, maka nantinya akan akan terbiasa dengan rasa optimis dan percaya diri. Misalkan saat belajar berjalan. Anak-anak pasti akan jatuh dan menangis karena kesakitan. Orangtua pastinya menghibur dan memberikan dukungan agar sang anak mau kembali berdiri dan berjalan. Saat anak sudah mampu berjalan sendiri, maka di saat itulah rasa optimisnya sudah tumbuh baik. Orangtua tinggal menjaganya agar anak dapat mempertahankan optimisme dalam dirinya untuk kegiatan lain.

2. Usia 3-5 tahun

Pada rentan usia ini, anak-anak mulai belajar hidup mandiri meskipun terkadang mereka masih dihantui oleh sifat keragu-raguan, terutama saat menghadapi situasi yang tidak nyaman. Misalkan saat anak ingin makan. Dia tidak hanya menangis sebagai tanda menunjukkan kelaparannya, tetapi dia sudah bertindak lebih jauh dengan mengambil makanan di atas meja atau memasukkan apapun ke dalam mulutnya sebagai tanda bahwa mereka lapar. Orangtua harus peka melihatnya, bahkan jika perlu, orangtua harus membuatkan daftar jadwal makan bagi sang anak, sehingga mereka tidak asal memasukkan makanan ke dalam mulutnya saat kelaparan.

Pada usia ini, orangtua juga harus mulai mengajak anak bersikap mandiri. Mulai dari merapikan mainannya, lalu mengajari makan dengan sendok, melatihnya untuk buang air (besar dan kecil) di kloset, sampai memakai baju dan sepatunya sendiri saat ingin pergi ke sekolah atau ke tempat lainnya. Pentingnya anak belajar kemandirian di masa ini agar mereka mampu mengendalikan diri dan tidak mudah menyerah saat menghadapi tantangan baru dalam rutinitasnya.

Saat orangtua membiasakan anak dilayani seperti raja (mau makan disuapi, mau minum diambilin, mau mandi dimandiin), nantinya motorik anak tidak berkembang dengan baik lalu parahnya, saat tidak ada lagi orang yang melayaninya, maka mereka akan bertingkah laku menyebalkan, seperti menangis, berteriak keras, membuang benda di sekitarnya, atau bahkan meninggalkan rumah untuk melampiaskan kemarahan pada situasi tidak nyaman.

Biarkan anak berbuat kesalahan saat mereka belajar mandiri. Berikan kepercayaan yang sama seperti saat orangtua memperlakukannya di usia 0-3 tahun. Amati saja dari jauh kegiatannya. Jika anak melakukan kesalahan, orangtua langsung menunjukkan kebenaran dan suruh anak mengingatnya. Katakan,”Kamu ingat ya semua yang ayah/ibu katakan dan ajarkan.”

Ulangi kalimat itu setiap kali anak berbuat salah dan minta dia melihat perbaikan yang orangtua lakukan atas kesalahan sang anak. Orangtua berhenti berkata bosan saat menemani dan mendidik anak. Tidak ada alasan yang logis bagi orangtua untuk mengatakan bosan selama menemani anak belajar. Sebab, tidak ada anak yang sukses tanpa mendapatkan bimbingan yang maksimal dengan penuh kasih sayang dari orangtuanya.

3. Usia 5-7 tahun

Pada rentan usia ini, anak sudah mulai menunjukkan keinginan pada benda atau apapun yang dilihatnya. Paling mudahnya adalah mainan. Saat usia 3-5 tahun, mainan anak didominasi oleh keinginan orangtua. Warna, bentuk, hingga fiturnya berdasarkan keinginan orangtua. Namun, menginjak usia 5-7 tahun ini, anak mulai memilih mainan sesuai kesukaannya. Proses pilih memilih dari diri anak inilah yang dikenal sebagai inisiatif.

Inisiatif dari anak tidak selalu menghasilkan sesuatu yang baik. Adakalanya pilihan mereka salah dan tidak sesuai dengan keinginan orangtua. Misalkan, saat memilih mainan, anak tentu memilih mainan  yang mahal karena mereka melihat bentuk, warna, serta keunikan dari mainan. Maka dari itu, orangtua sebaiknya ikut berperan untuk memberikan pendapat agar anak dapat menentukan pilihan dari inisiatifnya sesuai dengan kemampuan orangtua serta kebenaran yang ada.

Inisiatif anak juga seringkali menimbulkan kekacauan di dalam rumah. Misalkan saat mereka berinisiatif mencuci gelasnya sendiri usai minum susu, lalu saat menyalakan keran di wastafel, keran itu patah karena dijadikan pegangan saat anak akan jatuh. Air keran membasahi seisi dapur termasuk semua barang-barang di dapur.

Orangtua yang melihat kekacauan sang anak sebaiknya tidak marah, sebab tanpa perlu dimarahi, anak juga sudah merasa bersalah. Mereka juga takut dan kawatir jika terjadi sesuatu yang merugikan keluarganya. Oleh karena itu, sebaiknya orangtua mengamankan anak dulu agar tidak terjadi hal lain yang lebih parah, seperti tersengat listrik atau lainnya, kemudian tanyakan penyebab kejadiannya, dan terakhir tenangkan diri sang anak, lalu kuatkan dengan nasihat yang sederhana agar mereka dapat terus berinisiatif dengan aman dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Orangtua yang marah-marah akibat perbuatan inisiatif anak justru membuat anak takut dan tidak berani berbuat sesuatu lainnya. Dampak besarnya adalah mereka akan menjadi anak-anak yang cenderung menutup diri dan bergerak saat disuruh orangtuanya. Bahkan anak yang sering dimarahi karena kegagalannya justru memiliki perilaku yang sulit diarahkan. Mereka akan menjadi mudah takut karena kebiasaan dimarahi saat berbuat salah atau mereka akan keras kepala. Anak akan menolak arahan orangtua atau orang dewasa lain karena mereka takut disalahkan jika petunjuk itu ternyata salah.

Ijinkan anak untuk belajar insiatif dan menikmati rasa bersalahnya sendiri. Dengan begitu mereka akan berpikir dan mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka timbulkan. Proses latihan hidup ini akan menghasilkan perilaku yang mudah diarahkan. Komunikasi antara orangtua dan anak juga semakin harmonis dan baik.

4. Usia 7-12 tahun

Rentan usia ini dapat dikatakan anak sudah mulai mengerti kehidupan. Mereka sudah mulai mempunyai berani menyampaikan kemauannya dan memilih sesuatu berdasarkan pola pikirnya. Pada rentan ini pula orang tua mulai perlahan memberikan kebebasan pada anak untuk bersikap dan mengambil keputusannya sendiri.

Orangtua sebagai pendamping saja tanpa perlu terlalu dominan pikiran atas kemauan sang anak. Orangtua cukup mengingatkan anak untuk berani mengambil keputusan dengan selalu bersikap rendah hati. Begitu pula saat anak mengalami kegagalan, orangtua harus menemaninya tanpa perlu berceramah di depan sang anak. Sebab pada fase ini, anak sudah harus terbiasa berpikir untuk mencari jawaban dari kegagalannya sendiri. Orangtua hanya perlu mengingatkan dan mendampinginya saja.

Suatu hari, seorang anak bicara pada ayahnya. Dalam percakapan keduanya, sang anak bercerita bahwa dirinya sudah mengetahui penyebab nilai sekolah menurun serta kegagalan memperoleh ranking di sekolahnya. Sang ayah yang mendengarkan perkataan dari anak hanya tersenyum tanpa berkomentar apapun. Usai sang anak berbicara, sang ayah hanya menambahkan kalimat,”Ayah senang kamu sudah paham arti perjuangan.”

Sederhana bukan!

Sebagian orangtua terlalu sibuk untuk memposisikan anak sebagai dirinya dulu. Segala sesuatu dalam kehidupannya harus diduplikasi oleh anak tanpa celah. Bahkan sebagian orangtua memaksakan anak untuk memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Lantas, kalau kehidupan anak sama sepertinya, apakah ada manfaat baginya? Toh, pada akhirnya anak akan memilih jalannya sendiri. Bukankah hidup adalah pilihan? Tugas orangtua adalah mengajari pengetahuan yang benar, mendampingi anak selama pertumbuhan agar hidup sesuai aturan dan kebenaran, serta menemani anak di saat mereka berduka. Selebihnya, serahkan kepada Tuhan melalui doa.

Saat orangtua melakukan ketiga tugasnya, maka diitulah yang dikatakan sebagai keadilan dalam keluarga. Akhirnya anak akan pandai mengelola konflik dan terbiasa menghadapi permasalahan dalam hidupnya sendiri. Dengan begitu, orangtua dapat tenang menjalani hidup di masa tuanya.

Keempat fase di atas merupakan pondasi kehidupan bagi anak. Orangtua sungguh harus memahami segala tindakan yang dilakukannya selama menjalani keempat fase tumbuh kembang anak. Pondasi ini akan mempengaruhi kehidupan anak di masa depan. Artinya, orangtua sungguh berperan sangat penting sebagai pendamping anak.

Tetaplah bersabar wahai orangtua yang budiman. Sayangi anak-anak dengan memberikan mereka perhatian sesuai porsinya. Ingatlah! Tugas mengasuh dan menjaga anak sepenuhnya tanggung jawab orangtua dan bukan urusan orang lain. Maka itu, pengorbanan dan pengabdian dari orangtua sungguh dibutuhkan oleh anak selama menjalani masa tumbuh kembangnya. FIN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun