Mohon tunggu...
Sandy Oogway
Sandy Oogway Mohon Tunggu... Tutor - Friendly Coach No.1 Indonesia

Praktisi Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Zona Nyaman Sesungguhnya

30 November 2021   15:41 Diperbarui: 2 Desember 2021   03:06 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi keluar dari zona nyaman. (sumber gambar: Shutterstock.com/WindNight)

Oleh: Sandy Gunarso, S.Kom., M.I.Kom., CPS®., CMP®.

Tidak salah bila kita menganggap zona nyaman sebagai kondisi saat kita sudah merasa terbiasa dengan segala kegiatan yang berlangsung secara berulang dan terus menerus dalam kurun waktu bertahun-tahun. 

Bahkan, kita sudah merasa bisa dan mahir untuk melakukannya. Apalagi bila kita sudah mencapai jabatan tertentu dengan bawahan yang mengerjakan tugas dan tanggung jawab kita. 

Sebagian dari kita menganggap zona nyaman dapat menghancurkan diri sendiri karena kita tidak lagi merasakan keseruan pekerjaan dan hanya mengalami kebosanan serta kejenuhan dengan rutinitas yang selalu sama. 

Pengulangan pekerjaan yang sama tanpa tantangan baru membuat kita berpikir untuk keluar dari zona nyaman dan mencari pengalaman baru. 

Kita menganggap bila keluar dari zona nyaman dapat membuka kesempatan bagi diri sendiri untuk berkembang menjadi lebih baik. Namun, pada kenyataannya keluar dari zona nyaman tanpa persiapan matang justru membuat kita kehilangan banyak waktu dan tenaga.

Kita harus memulai segala kegiatan dari nol. Semuanya harus kita lakukan dari awal. Kita butuh waktu lebih untuk menghadapi pesaing baru hingga para pemain lama yang berpengalaman. 

Bila energi kita cukup kuat melawan pusaran angin di luar zona nyaman, kita akan dapat bertahan lama. Namun, bila kita gagal melakukannya, kita sungguh hancur dan babak belur dibuatnya. 

Lantas, benarkan bila kita harus meninggalkan zona nyaman untuk mendapatkan tantangan baru yang lebih menguntungkan dalam hidup kita? 

Bagaimana cara kita untuk tetap mendapatkan hasil serta tantangan baru selama di dalam zona nyaman?

Kita mencapai suatu kondisi yang disebut zona nyaman artinya kita sudah mengerti alur kerja, cara kerja, hingga proses kerja suatu kegiatan di dalam organisasi. Kemampuan tersebut harusnya dilihat sebagai perkembangan positif dari pekerjaan atau kegiatan kita. 

Pada titik zona nyaman, kita bukan lagi amatir atau orang baru melainkan sudah disebut sebagai pakar. Kita seharusnya berpikir untuk belajar pengetahuan baru tanpa meninggalkan pekerjaan lama. 

Lalu, mengapa banyak orang yang ingin keluar dari zona nyaman untuk mendapatkan tantangan baru dalam kehidupannya?

Zona nyaman dikatakan tidak lagi menantang dan malah dianggap menghambat saat kita malas bergerak untuk memanfaatkan sisa waktu usai menyelesaikan pekerjaan utama. 

Kita masih terpaku pada prinsip 'selesai kerja, selesai urusan, dan santai'. Padahal, saat kita mampu memanfaatkan waktu lebih untuk melakukan kegiatan lain, maka kita sendiri yang akan mendapatkan manfaat lebih dari hasil karya tambahan tersebut. Minimal kita mendapatkan tambahan pengalaman dan pengetahuan baru.

Seperti saat saya bekerja sebagai jurnalis di salah satu stasiun televisi lokal di Jakarta. Saya merasakan beban berat saat menyelesaikan sebuah naskah berita dari liputan perdana. 

Beban tersebut karena saya belum pernah menulis cerita dengan cara menulis berita.

 Alhasil, saya membutuhkan waktu selama 7 hari untuk menyelesaikan satu naskah liputan berdurasi tayang 5-6 menit. 

Jangka waktu 7 hari itu belum termasuk tambahan hari untuk memperbaiki sejumlah catatan tinta merah dari atasan saya. 

Proses belajar sebagai seorang jurnalis di stasiun televisi itu sungguh menguras energi dan membuat menderita jiwa dan raga.

Saya tidak patah arang untuk terus menjalaninya. Meski penuh air mata dan peluh, saya terus berjalan melanjutkan proses belajar menulis dan merangkai kalimat. 

Belum lagi saat saya harus mengikuti sejumlah pelatihan jurnalistik di dalam dan luar kota. Wow! Saya merasakan tekanan mental luar biasa dan hampir berhenti untuk bekerja sebagai jurnalis.

Dua tahun kemudian. Tepatnya di tahun 2010. Saya mulai mencintai pekerjaan sebagai jurnalis. Alasannya sederhana, saya sudah pandai membuat berita dengan indikator bahwa tulisan saya sudah dinilai baik oleh atasan. 

Begitu pula dengan materi liputan dan sudut pandang berita yang saya pilih. Perkembangan positif itu membuat saya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sebuah naskah berita berdurasi 5-6 menit dalam waktu beberapa jam. Itupun sudah termasuk perbaikan dari atasan.

Otomatis, saya memiliki waktu luang lebih banyak karena saya lebih cepat menyelesaikan penulisan naskah berita. Dalam sepekan, saya memiliki waktu luang sekitar 8-12 jam. 

Saya tidak merasa senang dengan banyaknya waktu luang itu. Saya justru mengalami kebingungan untuk melakukan aktivitas lain. 

Sebagian teman mengajak saya untuk memanfaatkan waktu luang dengan berbincang santai. Sebagian teman lainnya mengajak saya berjalan-jalan di luar kantor. 

Waktu luang saya habis dengan aktivitas tanpa hasil bagi diri sendiri dan orang lain. Saya lalu terseret pada kebiasaan santai dan perlahan masuk ke dalam zona nyaman.

September 2011, saya berkoordinasi dengan orang tua untuk menyesuaikan pendapatan per bulan karena saya ingin melanjutkan kuliah pada jenjang strata dua. 

Saat itu, saya hanya ingin memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan lain yang lebih baik dari pada sekedar berbincang atau jalan-jalan. Saya pun menjalani kuliah di salah satu univertas terkemuka di Jakarta. 

Setahun saya kuliah, saya masih merasakan kenyamanan tanpa batas di tempat kerja. Akibatnya saya mulai merasakan kejenuhan. 

Pada situasi begitu, saya memberanikan diri untuk melamar pekerjaan baru di salah satu stasiun televisi nasional. Usai diterima sebagai produser, saya mulai berkarya dengan sejumlah tantangan baru. 

Saya harus menyelesaikan berita dengan cepat dan akurat. Saya kembali merasakan perubahan iklim kerja. Saya sempat kewalahan saat menyesuaikan diri selama setahun bekerja di tempat kerja baru.

Sekarang, saya sudah bekerja selama delapan tahun terhitung dari Januari 2012. Memilih berita, menulis naskah berita, hingga membuat sejumlah grafis untuk keperluan tayang, saya dapat lakukan dengan cepat. Hingga akhirnya, saya kembali merasakan zona nyaman. 

Saya lalu berpikir untuk melakukan kegiatan bermanfaat ataukah hanya menghabiskan waktu luang dengan bermalas-malasan. 

Bila saya memilih untuk bermalas-malasan, itu berarti saya memilih menenggelamkan diri ke dalam zona nyaman. Sementara, bila saya memilih untuk melakukan kegiatan bermanfaat, itu berarti saya harus mengeluarkan energi lebih saat melakukan kegiatan lain. 

Saya lantas berpikir menyiapkan mental saat saya melangkah melakukan sejumlah kegiatan tambahan usai menyelesaikan pekerjaan utama.

Akhirnya saya memilih untuk melakukan kegiatan bermanfaat dan meninggalkan zona nyaman di tempat kerja. Saya tetap bekerja di tempat lama tetapi saya mengambil kesempatan mengajar menjadi dosen di salah satu univertas wilayah Jakarta Timur. 

Selain itu, saya melanjutkan pendidikan profesi di bidang public speaking atau pembicara publik dan media planner. Dengan kedua gelar profesi tersebut, membuat saya semakin sibuk sebagai pembicara publik.

Kita dapat menarik kesimpulan dari pengalaman saya ini. Zona nyaman sesungguhnya merupakan kreasi diri sendiri saat kemampuan kita sudah sampai pada level mahir. Kemahiran tanpa disertai dengan variasi kegiatan akan menciptakan kondisi statis dalam kehidupan. 

Kondisi statis bila terjadi dan berulang secara terus menerus dapat menciptakan kebosanan dan kejenuhan dalam pikiran. Akhirnya, kita kehilangan gairah hidup dan berupaya menemukan pekerjaan baru yang kita anggap lebih menantang.

Kita perlu pahami bersama bahwa pada dasarnya kehidupan ini membutuhkan tantangan baru karena dengan tantangan baru itulah kita merasakan perubahan hidup dan merasakan proses belajar. 

Dinamika dari tantangan baru akan membentuk pola pikir baru dalam kehidupan kita, sehingga kita dapat terus mengembangkan diri menjadi pribadi dengan kekuatan mental yang baik.

Zona nyaman rupanya tidak hanya tercipta karena kita tidak memanfaatkan kelebihan waktu usai melakukan pekerjaan utama. 

Zona nyaman juga dapat dibuat atasan agar kita - secara otomatis - mengundurkan diri karena merasakan kebosanan dan kejenuhan di kantor.

Fenomena ini saya namakan perangkap zona nyaman. Penyematan nama tersebut saya berikan karena perangkap ini terjadi begitu alami dan sangat lembut dalam rutinitas kita. Sehingga, kita sama sekali tidak menyadari saat kita masuk ke dalam perangkap zona nyaman dan tinggal menunggu waktu untuk menghancurkan diri sendiri karena kita mengundurkan diri tanpa pengetahuan dan pengalaman lebih pada pekerjaan baru di bidang profesi baru.

Perangkap zona nyaman ini terkadang digunakan perusahaan untuk menghindari pemberian uang pesangon karena memecat karyawannya. 

Konsep ini dilakukan perusahaan bila konsep pindah memindahkan karyawan - sang target - dinilai gagal dilakukan karena sang target justru berprestasi dalam setiap posisi barunya.

Lantas, apa indikatornya bila kita masuk ke dalam perangkap zona nyaman? Yuk! Kita amati bersama agar kita waspada dan lebih giat untuk berkarya di kantor masing-masing.

1. Dibebaskan Dari Tugas Sulit

Pada perangkap zona nyaman pertama ini, atasan sama sekali tidak memberikan tugas berat pada kita selama bekerja sama dengannya. Bukan alasan kepercayaan pada kita, melainkan biasanya karena atasan mengalami ketakutan bila prestasinya akan tersusul oleh kita. Bila tugas sulit diberikan pada kita, lalu kita berhasil menyelesaikannya, maka kita dianggap perusahaan berjasa dan berprestasi. 

Dampaknya, kita akan mendapatkan promosi kenaikan jabatan atau bonus lebih. Nah, alasan itulah yang ditakuti sebagian atasan pada bawahannya. 

Dengan kenaikan jabatan secara berkala dan terus menerus, maka dipastikan kita akan menyusulnya. Apalagi bila kerja sang atasan tidak lebih baik dari kita. Untuk alasan itulah, sang atasan biasanya memaku kita di satu posisi tanpa tugas berat.

Bagi kita yang belum mengetahuinya, kita akan terlena untuk bersenang-senang menghabiskan waktu tanpa kegiatan bermanfaat selama di kantor. 

Kita bermalasan-malasan karena kita berpikir bahwa kita tidak mendapatkan tugas berat dari atasan. Kita tidak memanfaatkannya untuk melakukan kegiatan lain yang bermanfaat.

Ingat! Kondisi tanpa tantangan yang terjadi berulang kali dan terus menerus akan menimbulkan kejenuhan dan kebosanan. Pikiran kita akan menangkap kejadian di akhirnya bukan keseluruhan prosesnya. Sehingga, begitu pikiran kita merasakan kebosanan dan kejenuhan, maka pikiran kita akan menyetujuinya dan langsung memerintahkan kita untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menantang dan menguntungkan.

Pikiran kita tidak akan mengingat seluruh proses terciptanya kebosanan dan kejenuhan itu. Pikiran hanya memeriksa kondisi yang mendukung terjadinya kedua perasaan itu. 

Dalam waktu cepat, pikiran kita akan menyetujui tindakan kita untuk mencari pekerjaan lain tanpa melihat kesiapan kita untuk pindah ke pekerjaan lain.

Sebaiknya, saat kebosanan dan kejenuhan itu muncul dalam pikiran selama bekerja di perusahaan, kita lebih baik berpikir ulang dan ulang sebelum memutuskan untuk pindah pekerjaan. 

Jangan pernah mengikuti pikiran kita tanpa mengulasnya dengan matang baik dan buruknya untuk meninggalkan pekerjaan lama. Sebab, untuk pindah dan memulai pekerjaan baru, kita membutuhkan tenaga ekstra yang menguras waktu lebih.

2. Tanpa Sanksi Meski Bersalah

Kita akan semakin terbuai dengan kondisi santai karena pekerjaan kita sungguh tanpa tekanan di kantor. Biasanya bila kita melakukan kesalahan, kita akan mendapatkan sanksi berat atau minimal peringatan dari atasan, tetapi saat ini, sekalipun kita melakukan kesalahan seberat apapun yang mengacaukan sistem kerja bersama, atasan hanya menegur kita dengan nada biasa.

 Saat kondisi seperti itu, kita justru semakin waspada atas situasi pada posisi kita di kantor. Bukan justru terlena dan semakin sering melakukan kesalahan atau sengaja melakukan kesalahan. 

Sebab, situasi tersebut sengaja diciptakan atasan untuk menilai kita secara tidak langsung atas kerja kita. Sebab biasanya, orang-orang akan terlena saat segala situasi dibuat lembut dan tanpa tantangan berat.

Justru saat kita tetap melakukan kerja positif dan tidak melakukan kesalahan dan mematuhi peraturan kantor, itu artinya kita menggagalkan rencana atasan untuk menjebak kita pada perangkap zona nyaman kedua. 

Namun, sebaliknya bila kita semakin menurunkan kualitas diri saat melakukan pekerjaan di kantor dan semakin seenaknya untuk melakukan pekerjaan, maka kita sendiri akan mengalami kerugian karena semua orang akan menilai kita buruk dalam dunia profesional.

3. Dianggap Tidak Ada

Bagaimana perasaan kita saat atasan sendiri menganggap kita tidak ada di kantor meski kita masuk kerja? Bagaimana pula bila kehadiran kita di kantor sama sekali tidak dianggapnya? Apakah kita biasa saja atau justru sibuk melakukan 'tebar pesona' agar kita dianggap atasan?

Kecenderungan kita bila berada pada posisi diabaikan atasan, maka kita semakin senang dan nyaman. Jelas! Gaji tetap jalan setiap bulan tanpa pekerjaan berat. Rutinitas pun semakin menyenangkan karena kita bisa santai sepanjang hari sepanjang pekan. Wow! 

Siapakah orang yang menolak kondisi seperti itu? Bahkan sebagian kita justru mencari kesempatan baik untuk diperlakukan seperti itu.

Halo! Kondisi diabaikan seperti itu hendaknya kita pandang sebagai peluang kita untuk belajar lebih dengan memaksimalkan potensi diri sendiri dan bukan sebaliknya kita justru terlena lalu bermalas-malasan di kantor. 

Dianggap tidak ada oleh atasan, bisa saja dilakukannya untuk menguji kreativitas dan spontanitas kita untuk melakukan sesuatu di luar rutinitas kerja. Justru kita harus semakin kreatif berpikir dan berkarya bagi diri sendiri maupun perusahaan.

Alangkah menyenangkan bila kita dapat belajar dengan menggunakan fasilitas yang ada di kantor. Alangkah menyenangkan bila kita mampu menghasilkan banyak karya dengan modal yang dicukupi oleh kantor. Misalkan saja menjadi penulis buku, pengasuh artikel di sebuah majalah, menjadi kreator konten untuk media sosial, atau merintis sebuah bisnis pemula atau startup.

 Kita harus memegang prinsip bahwa kehidupan sendiri ini penting dan berarti untuk banyak orang. Kita harus memanfaatkan setiap waktu dengan terus berkarya bagi orang lain. 

Bila kita berhenti berkarya lalu menyibukkan diri dengan bermalas-malasan atau sekedar bersantai menghabiskan waktu, maka bila saatnya tiba, kehidupan kita akan habis dan kita menjadi orang yang tidak memiliki apapun untuk dibanggakan.

4. Diberikan Kebebasan Waktu

Perangkap zona nyaman keempat ini lebih menyenangkan lagi. Ya, kita diberikan kebebasan waktu tanpa batas oleh atasan. Kita sama sekali tidak diwajibkan untuk melakukan absensi di kantor. 

Datang ke kantor pun bisa kapan saja. Bila kita menitipkan absensi kepada teman pun kita sama sekali tidak mendapatkan teguran dari atasan. Kita pun dibiarkan kerja tanpa target dan sama sekali tidak diwajibkan untuk menyelesaikan target pekerjaan.

Apa yang akan kita lakukan saat kita berada dalam situasi seperti itu?

Kalau kita memilih hanya bermalas-malasan di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun selain menunggu waktu berangkat ke kantor untuk memenuhi absensi, kita sudah melakukan kesalahan fatal. 

Seharusnya kita dapat memanfaatkan kebebasan waktu tersebut untuk melakukan banyak kegiatan lain yang bermanfaat bagi orang lain. 

Bukan berarti kita melakukan penghianatan pada pekerjaan utama, melainkan kita berusaha memaksimalkan waktu luang agar kita semakin produktif dalam menjalani kehidupan.

Saya selalu berpesan pada semua remaja dan pemuda yang ada. Pesan ini berbunyi bahwa saat kita masih muda, kurangilah kita berada di dalam rumah. 

Kita harus menambah waktu lebih banyak di luar rumah dan melakukan pekerjaan apapun untuk belajar dan menambah pengalaman hidup. 

Saat usia kita masih muda, lantas kita lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah, akibatnya, saat tua nanti, sungguh kita tidak akan memperoleh banyak pengalaman. Sedikitnya pengalaman tentunya membuat kita akan semakin kalah bersaing dengan orang lain.

Untuk itulah, kita harus banyak keluar rumah untuk berkarya dan terus berkarya bagi diri sendiri. Kita harusnya berpikir bahwa satu hari kita harus mampu melakukan satu karya. 

Meski saat ini kita belum melihat hasil dari karya kita tersebut, minimal kita menambah pengalaman untuk melakukannya di lain waktu dengan hasil yang lebih baik. Bukankah kita tetap diuntungkan dengan cara seperti itu?

Janganlah kita sampai meremehkan keempat perangkap zona nyaman di dalam perusahaan maupun organisasi. Kelengahan kita memanfaatkan waktu yang baik dalam kehidupan ini sungguh merugikan mental dan pikiran sendiri.

Saya selalu berpegang pada prinsip hidup bahwa saya bekerja bukan untuk memuaskan atasan dan perusahaan melainkan saya bekerja untuk mengembangkan diri sendiri. 

Karena bila kita bekerja hanya memikirkan atasan dan perusahaan, kita akan tenggelam pada rutinitas kepalsuan dan cenderung bertahan hidup dengan cara-cara memalukan. 

Namun, bila kita bekerja dengan landasan pengabdian pada diri sendiri, maka kita dapat menilai kerja sendiri untuk selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebenaran, baik itu dalam peraturan perusahaan ataupun kebenaran dalam kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun