Jam dinding pada musala tempatnya singgah itu seakan meminta pria itu untuk melanjutkan jalan pulang, meski hujan sepertinya belum akan cepat reda. Sebentar melongok ke arah jam dinding lagi. Sebentar kemudian memandangi jalan yang kini persis aliran sungai. Keraguan tampak dari wajahnya, tetapi segera berubah saat matanya tertuju pada hadiah untuk putri semata wayang tercintanya.
Dalam raut muka yang sudah tampak santai, terbayang rengekan sang putri meminta dibelikan mainan yang sama seperti teman-teman SMP-nya. Alih-alih mengiyakan permintaan sang puter, pria itu hanya diam seribu bahasa, sehingga dengan sendirinya rengekan sang putri tak terdengar lagi lantaran mengerti akan keterbasan sang Ayah.
Akan tetapi, dalam diamnya ternyata pria itu bertekad mengumpulkan uang untuk mewujudkan keinginan sang anak. Meski dibutuhkan waktu yang lama, dia berpikir bahwa upanyanya akan terbayar saat melihat senyum girang terpancar dari wajah sang putri, yakni ketika anaknya menerima hadiah yang menjadi idamannya itu.
Dengan mengumpulkan tekad, pria itu segera menunggangi sepeda onthel miliknya, lalu menerobos barisan air hujan yang menyerbu-nyerbu punggungnya.
Dikayuhnya sepeda tua itu dengan gesit, dan kedua rodanya separuh terendam air saat telah menempuh jarak sekitar 500 meter. Ketika tak lama lagi sampai di rumahnya, sepedanya tiba-tiba terperosok ke jalanan berlubang. Hampir saja pria itu terpelanting bersama sepedanya andai saja dia tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya.
Pria itu tidak peduli akan baru saja yang menimpanya, di depan matanya hanya terlintas senyuman putri cantiknya setelah menerima kejutan yang munkin tidak pernah sama sekali diduga anak itu.
Pikirannya menerawang jauh di antara celah-celah hujan. Jika dulu semasa kanak-kanak, hujanlah yang membuatnya bahagia. Ditambah tahu goreng panas dan teh manis buatan Ibu menjadi pelengkapnya kebahagiaannya di kala hujan. Namun, sekarang berbeda. Tak ada yang lebih penting dari kebahagian putrinya.
Dalam sekejap, situasi hatinya berubah lagi. Pria itu merasakan suatu firasat buruk. Tak tahu apa gerangan, tetapi rasanya dia harus segera sampai di rumah. Pikirannya kini terisi oleh bermacam-macam hal.
Satu minggu sudah putrinya terbaring lemah karena sakit. Sudah ia bawa ke puskesmas, tetapi tak kunjung sembuh. Sebelum itu, salah seorang tetangga yang bekerja sebagai perawat mendesak pria itu agar membawa putrinya ke rumah sakit terdekat karena paru-paru basah yang diderita sang anak sudah sedemikian parahnya.
Apa daya, kedatangannya ke rumah sakit tak mendapat sambutan baik karena masalah biaya, juga belum cukup usia untuk ikut serta program asuransi kesehatan dari Pemerintah. Dengan berat hati, pria itu harus merawat putri tunggalnya yang malang itu dengan upaya seadanya.
Air hujan tak henti menerpa wajahnya dipenuhi kerutan. Kedua kakinya yang kehitam-hitaman semakin bertenaga menggenjot onthel tuanya saat jarak rumah sudah makin dekat, hingga kemudian laju sepedanya terhenti. Bukan di depan rumahnya, melainkan di depan gang. Dipegangnya hadiah itu sekuat tenaga.
Rupaya, di bawah guyuran hujan yang semakin mengganas, sekumpulan warga yang tengah sibuk ke sana sini memenuhi halaman rumahnya. Tanpa perlu penjelasan tentang apa yang terjadi, dia sudah tahu. Tanpa perlu ada ungkapan-ungkapan belasungkawa. Tanpa perlu melihat isak tangis sang istri, dia sudah tahu. Tanpa lebih dulu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, dia pun sudah tahu.
Firasatnya benar.
Hujan hari ini mewakili air matanya yang terus ditahannya. Diremasnya hadiah yang sedari tadi menemani pria itu hingga rusak kertas pembungkusnya. Dia tahu, dia datang terlambat.
Samar-samar terdengar suara putri tercintanya.
"Terima kasih Bapak, hadiah darimu. Aku suka…."
Dia melihat sebuah cahaya dari atas rumahnya. Lalu, cahaya itu pergi menjauh menuju langit mendung, dan hilang di antara awan hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H