Air hujan tak henti menerpa wajahnya dipenuhi kerutan. Kedua kakinya yang kehitam-hitaman semakin bertenaga menggenjot onthel tuanya saat jarak rumah sudah makin dekat, hingga kemudian laju sepedanya terhenti. Bukan di depan rumahnya, melainkan di depan gang. Dipegangnya hadiah itu sekuat tenaga.
Rupaya, di bawah guyuran hujan yang semakin mengganas, sekumpulan warga yang tengah sibuk ke sana sini memenuhi halaman rumahnya. Tanpa perlu penjelasan tentang apa yang terjadi, dia sudah tahu. Tanpa perlu ada ungkapan-ungkapan belasungkawa. Tanpa perlu melihat isak tangis sang istri, dia sudah tahu. Tanpa lebih dulu melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, dia pun sudah tahu.
Firasatnya benar.
Hujan hari ini mewakili air matanya yang terus ditahannya. Diremasnya hadiah yang sedari tadi menemani pria itu hingga rusak kertas pembungkusnya. Dia tahu, dia datang terlambat.
Samar-samar terdengar suara putri tercintanya.
"Terima kasih Bapak, hadiah darimu. Aku suka…."
Dia melihat sebuah cahaya dari atas rumahnya. Lalu, cahaya itu pergi menjauh menuju langit mendung, dan hilang di antara awan hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H