Sehubungan dengan rezeki yang telah Allah janjikan untuk kita, dalam hal ini rezeki berupa uang, mungkin selama ini kita masih salah dalam memisahkan antara ikhtiar (kerja keras) dengan kehendak-Nya.
Bekerja 'mati-matian' bukan berarti kita pasti akan mendapatkan uang dari hasil jerih payah kita sendiri. Allah memang memerintahkan kita untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan banyak berdoa, tapi ikhtiar kita sama sekali bukan penentu, dan tidak terikat dengan rezeki.
"Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak mampu membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan juga kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Ankabut: 60).
"Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun, sebelum penciptaan langit dan bumi." (HR Muslim).
Â
Selain itu, jumlah rezeki juga tidak datang oleh sebab kerja keras kita, tidak pula diukur dengan peluh yang kita keluarkan, tetapi dipicu oleh kualitas yang kita berikan, atay yang kita lakukan dalam berupaya mendapatkannya.
Analoginya seperti ini: seseorang yang punya tingkat intelektualitas yang tinggi, pengalaman yang panjang, tentu akan mendapatkan rezeki melimpah daripada yang tidak.
Di satu sisi, dalam satu hari, seorang buruh tani yang telah menjemur punggungnya di bawah matahari hanya akan mendapat bayaran Rp50.000, sedangkan seorang pengusaha kaliber internasional bisa mendapat penghasilan sebesar satu miliar rupiah dalam waktu yang lebih singkat.
Hal ini senada dengan pesan dari Imam Abu Hasan asy-Syadzili, "Ibadah hati jauh lebih baik daripada ibadah fisik."
Meski begitu, terlepas dari jenis pekerjaan apa pun yang kita memiliki sekarang, satu hal yang lebih utama: mari kita selalu mengedepankan ketulusan hati, karena Allah lebih mengetahui apa dan bagaimana rezeki yang terbaik untuk kita.
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Buya Syakur Baha dengan judul asli "Suasana Hati Menentukan Rezeki."