Oleh Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc*
Islam menghendaki penganutnya agar mereka membagi waktu secara proporsional, karena waktu adalah aset terpenting manusia yang setiap hari membawa pada akhir dari kehidupannya.
Waktu juga ibarat pedang, kalau kita tidak lebih dulu menebasnya maka dialah yang akan menebas kita.
Tentang hal ini, Rasulullah sudah jauh-jauh hari menginginkan. "Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak yang harus engkau tunaikan, dan dirimu mempunyai hak yang harus engkau tunaikan, dan keluargamu mempunyai hak yang harus engkau tunaikan. Dan, berikanlah setiap pihak/orang haknya masing-masing."Â
Hadits tersebut pertama kali ditujukan kepada Abu Darda yang ketika itu over dalam beribadah sehingga 'menelantarkan' istrinya dengan tidak pernah menyentuhnya.
Pada siang hari ia berpuasa sedangkan malam harinya setelah Isya ia segera melaksanakan qiyamullail sampai menjelang waktu Subuh.
Mengetahui perbuatannya itu, Salman Al Farisi ra coba menasihati Abu Darda ra tapi tidak mengindahkan nasihat tersebut.
Hingga akhirnya Salman melaporkan tindakan Abu Darda kepada Rasulullah Shalallahu 'Alihi wa Sallam dan Nabi membenarkan pendapat Salman.
Sadarkah kita bahwa seseorang yang keranjingan salat qiyamullail saja mendapat kritik, lalu bagaimana seandainya Nabi melihat cara kita menghabiskan waktu hari?
Kalau kita mau merenungkan, mana yang selama ini paling sering kita sentuh dan pegang? Tangan istri, tangan mungil anak, atau gadget kita?
Itu baru tentang istri dan anak. Belum lagi jika kita berbicara soal (waktu untuk membaca)Â mushaf, kitab sahih Bukhari, kitab sahih Muslim, dan kita juga belum berbicara kitabul Tauhid.
Kita sebagai umat Islam mesti berpikir, kalau salat saja tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi (pembelaan) seseorang yang tidak menunaikan hak keluarga, apalagi interaksi kita yang berlebihan di sosial media lewat gadget di tangan kita.
Memang tidak ada yang salah dengan bermain sosial media, tapi jangan lupakan juga bahwa salat menjadi syarat wajib bagi keislaman seseorang, dari pada interaksi kita yang berlebihan pada gadget, begitu pula dengan kewajiban untuk menuntut ilmu (agama).
Kerugian Bagi Orang yang Menyia-nyiakan Waktunya
Pembagian waktu itu sangat penting karena Allah akan mempertanyakan hingga menuntut perihal bagaimana kita menghabiskan waktu selama hidup di dunia.
Di hari kiamat kelak, kaki yang kita miliki tidak akan beranjak dari sisi Allah sampai kita ditanya tentang empat perkara yang dua di antaranya adalah: waktu kita habis untuk apa, bagaimana kita menghabiskan masa muda. Itu merupakan bentuk pengulangan atau penekanan karena masa muda merupakan bagian dari waktu hidup kita.
Tidak berhenti pada pertanyaan Allah di atas, jika selama hidup di dunia kita lebih disibukkan dengan gadget dari pada memberi perhatian lebih pada anak-anak dan istri, maka bersiaplah menanggung tuntutan mereka di hadapan Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Pemberi Balasan.
Kita boleh punya grup dari aplikasi apa pun, tapi tidakkah sedikit manfaat, kalau enggan dikatakan tidak ada, dengan kita begitu aktif di sana sedangkan isi percakapannya hanya haha hihi.Â
Untuk apa juga kita banyak disibukkan oleh sekadar urusan mendapat atau tidak likes dan comment dari orang lain, sedangkan anak kita jarang atau tidak pernah mendapatkan didikan dari orangtuanya?
Tentu saja ada pengecualian untuk interaksi langsung dengan teman, atasan, dll, tapi sebagai seorang Mukmin tetap harus memperhatikan kaidah-kaidah tertentu dalam berhubungan dengan orang lain.
Pasalnya, Nabi Muhammad Shalallahu 'Alihi wa Sallam mengatakan, terlalu banyak tertawa dapat dapat membuat hati menjadi keras dan mati.
Lalu akan ada yang menyanggah. "Tapi 'kan yang mengetik jempol saya dan mulut saya tidak tertawa? Memangnya, dengan begitu apakah waktu yang sudah digunakan tidak terbuang dengan sia-sia?
Salah satu tanda baiknya Islam seseorang, salah satu ciri bagusnya kualitas imam kita adalah terhindarnya diri kita dari hal-hal yang tidak banyak bermanfaat. Dan, salah satu tanda kebaikan seseorang dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
Jadi, kalau obrolan di dalam grup sudah mengarah pada hal-hal yang tidak jelas, apalagi cenderung haram, tidak ada solusi lainnya selain meng-CUT perhatian darinya, selesai. Bukannya justru berpindah dari satu grup ke grup yang tak jauh berbeda lainnya.
Belajar Membagi Waktu dari Ulama Terdahulu
Hasan Al-Basri pernah mengatakan. "Salah satu tanda Allah berpaling dari seseorang (kita), Allah akan biarkan kita sibuk mengurusi hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dirinya."
Dengan kata lain, apabila kita coba melakukan evaluasi, atau bahkan mencatat, terhadap waktu-waktu yang tidak bermanfaat dalam sepekan ke belakang saja, bisa jadi mayoritas waktu kita itu habis untuk sosial media. Itu artinya Allah telah berpaling dari kita.
Kita sudah tidak diberikan hidayah, taufik, bimbingan oleh Allah, yaitu dengan membiarkan kita disibukkan oleh hal-hal yang tidak produktif dan bermanfaat. Kita ditinggalkan oleh Allah.
Mungkin kita sudah mengaji dan penampilan kita sudah mengikuti Sunnah Nabi Shalallahu 'Alihi wa Sallam, tapi Allah tidak hanya melihat yang tampak di luar seperti penampilan, karena penampilan hanyalah satu bagian dari Sunnah secara keseluruhan.Â
Untuk itulah, ulama terdahulu benar-benar menjaga waktu dan tidak suka membahas persoalan-persoalan yang tidak bermanfaat. Sampai-sampai ada seorang yang bertanya kepada Imam Malik Rahimahullah. "Wahai Imam Malik, berapa usia Anda?"
"Urus diri Anda sendiri, apa gunanya Anda tahu umur saya? Tidak ada gunanya Anda menanyakan umur saya. Kenapa Anda tidak bertanya bagaimana cara berwudhu, bagaimana cara salat, bertanya tentang Tauhid. Banyak hal lebih penting untuk Anda tanyakan."
Keadaan hari ini tidak jauh berbeda. Bahkan, kemajuan teknologi membuat sebagian dari manusia di zaman ini lebih kepo lagi. Berbagai hal yang bukan urusannya ditanya dan dicampuri, ada update isu-isu 'menarik' dibahas.
Urusan Papa Minta Saham dianalisa di grup selama tiga jam. Di saat yang bersamaan, Iqra' tiga jam belum juga tamat-tamat. Kira-kira apa manfaatnya? Tidak ada.
Jadi, kalau kita termasuk orang-orang seperti itu, kita harus berhati-hati karena jangan-jangan Allah sedang menelantarkan kita. Allah menelantarkan kita bukan melulu dengan menimpakan kemiskinan pada seseorang karena miskin termasuk salah satu bentuk dari ujian-Nya.
Buktinya Abu Hurairah miskin dalam hal kepemilikan materi. Begitu juga dengan Bilal bin Rabah, tapi mereka tidak melalaikan Allah Subhana wa Ta'ala. Waktu mereka sangat padat untuk urusan-urusan besar.
Cerita lainnya tentang sebagian ulama terdahulu yang tengah mengikuti pada sebuah majelis. Tiba-tiba tinta pulpen yang digunakan untuk mencatat habis. Lalu dia bersuara. "Siapa yang mau menjual pulpennya kepadaku dengan dua dinar (Rp4 juta)?"
Seseorang kemudian menimpali bahwa harga tersebut terlalu mahal. Apa jawaban ulama tersebut?
"Harga itu lebih murah dari pada saya harus ke luar untuk membeli pulpen. Waktu itu mahal. Bagi saya  kehilangan empat juta asal mendapat waktu untuk mengikuti majelis seperti ini, tidak tertinggal untuk mencatat , tidak melewatkan penjelasan sang syekh, itu lebih mahal."
Semoga kita menjadi bagian dari manusia yang senantiasa memanfaatkan di dunia dengan sebaik-baiknya. Dengan begitu, kita tidak menderita pada saat harus mempertanggungjawabkan di akhirat kelak atas segala hal yang sudah kita lakukan selama ini.
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri dengan judul asli "Cerdas dalam Membagi Waktu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H