Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Unik di Balik Sejarah Pembuatan Kapal Pinisi

8 Desember 2023   10:45 Diperbarui: 8 Desember 2023   12:53 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar kapal Pinisi tampak dari atas. Sumber gambar: Instagram @pinisi.id

Memandang hamparan laut Nusantara yang begitu luasnya, terkadang kita jadi teringat pada kisah kehebatan leluhur bangsa Indonesia sebagai pelaut ulung.

Dengan amat gagah dan beraninya, mereka menjelajah dan mengarungi samudera sampai seantero dunia. Jadi, memandangi lautan layaknya kita tengah memandangi diri sendiri.

Simbol kehebatan leluhur bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut (maritim) dan sebagai penjelajah samudera dunia, tidak bisa dipungkiri bahwa salah satunya adalah jejak sejarah Kapal Pinisi.

Kapal Pinisi dikenal sebagai kapal yang mampu mengitari bumi, dari Madagaskar (Afrika) sampai ke pantai barat Amerika. Konon, nama Madagaskar itu sendiri diambil dari kata "Makassar" karena dulu banyak orang Bugis yang terdampar di wilayah itu.

Kapal Pinisi juga dikenal sebagai tradisi pembuatan perahu atau kapal yang berkualitas tinggi.

Teknik pembuatan kapal tradisional Pinisi tidak menggunakan gambar teknis. Dindingnya dibuat terlebih dulu, baru kemudian diberi rangka. Sambungannya tidak menggunakan paku tapi pasak dan kulit kayu untuk menutupi celah-celah dinding lambung perahu.

Sudah cukup banyak karya (buku) maupun cerita (kronik, risalah, dan legenda), dari yang ilmiah hingga non-ilmiah, yang menulis dan menceritakan kehebatan kapal Pinisi. Dan memang, kehebatan Pinisi benar-benar terbukti.

Dengan menggunakan Kapal Pinisi, Nusantara di bawah pimpinan Kapten Gita Ardjakusumah (1986) berhasil menjelajahi Samudera Pasifik menuju Vancouver, Kanada.

Keberhasilan pelayaran itu semakin menjadikan kehebatan Pinisi dikenal dan diakui oleh dunia.

Sekilas Legenda yang Menceritakan tentang Kehebatan Kapal Pinisi

Alkisah, pada suatu masa, permaisuri Kerajaan Luwu, yang lokasinya berada di pesisir pantai Sulawesi Selatan itu, melahirkan bayi kembar tapi berbeda jenis kelamin (yang satu laki-laki dan satu lagi perempuan).

Si bayi laki-laki (sang pangeran) diberi nama Sawerigading, sedangkan bayi perempuan (sang puteri) diberi nama Watenri Abeng. Seiring waktu, kedua bayi kembar tersebut tumbuh sebagai remaja yang sama rupawannya.

Ketika beranjak dewasa, Sawerigading senang berkelana menjelajah samudera luas dalam waktu yang cukup lama. Pada saat kembali dari petualangan, Sawerigading tiba-tiba jatuh cinta kepada saudari kembarnya sendiri, Watenri, yang memang cantik rupawan itu.

Tentu saja, sang puteri Watenri menolak cinta sang pangeran yang aneh itu. Bahkan, mendengar syahwat cinta sang pangeran Sawerigading, Raja dan Permaisuri menjadi teramat marah. Sang Raja menegaskan bahwa hal itu tidak boleh dan tidak mungkin terjadi. Keinginan sang pangeran dianggap bisa mendatangkan murka para dewa yang akan membuat petaka bagi kerajaan Luwu.

Meskipun Raja begitu geram, sang pangeran tetap tidak peduli. Nah, di tengah kemelut itu, sang puteri mencoba untuk memberikan jalan keluar.

Sang puteri mengatakan kepada sang pangeran bahwa tidaklah mungkin dirinya menjadi isteri sang pangeran lantaran masih bersaudara kandung.

Namun, jika sang pangeran memang ingin tetap mempersunting seorang puteri yang kecantikannya mirip dengan dirinya, maka sang pangeran diminta untuk pergi ke negeri Tiongkok.

Sang puteri mengungkapkan bahwa di Negeri Tiongkok ada seorang puteri yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya. Namanya puteri We Cudai.

Sang pangeran menerima usulan dari saudari kembarnya itu. Namun, untuk berlayar ke negeri Tiongkok, sang pangeran membutuhkan perahu atau kapal yang kuat, bagus dan mampu mengarungi samudera.

Lalu, sang pangeran meminta kapal baru karena yang digunakan untuk menjelajah samudera selama ini sudah tua dan rapuh. Atas nasihat sang puteri pulalah akhirnya dibuat kapal dari sebuah pohon bertuah. Namanya pohon Welengrere milik Sang Hyang Dewata.

Dan, ajaibnya, pohon bertuah tadi tidak bisa ditebang. Untuk itu, atas saran sang puteri, diadakan upacara besar- besaran yang harus dipimpin oleh seorang yang sakti mandraguna.

Orang sakti itu adalah nenek dari sang puteri dan sang pangeran sendiri. Keajaiban alam kembali terjadi. Tatkala pohon bertuah ditebang dan rubuh, pohon itu masuk ke dalam perut bumi dengan membawa serta sang nenek.

Mukjizat terjadi. Bersamaan dengan itu, keluar dari perut bumi sebuah parahu yang megah, indah dan kokoh.

Keesokan harinya, dengan perahu tersebut sang pangeran berlayar menuju negeri Tiongkok. Sebelum berlayar, sang pangeran sempat mengucap sumpah bahwa dia tidak akan pulang ke Luwu dengan membawa perahu tadi.

Di negeri Tiongkok, sang pangeran. berhasil mempersunting puteri We Cudai. Setelah sekian lama di negeri orang, sang pangeran toh rindu pulang kampung. Rupanya, sang pangeran melupakan sumpahnya. Dia pulang menuju Luwu dengan perahu ajaib yang dulu membawanya ke negeri Tiongkok.

Dewata pun menjadi murka. Menjelang perahu sampai di pantai Luwu, tiba-tiba lambung perahu pecah. Pecahan perahu itu terpencar ke tiga tempat, yaitu seluruh papan lambung perahu tergolek di daerah Ara.

Gambar kapal Pinisi tampak dari atas. Sumber gambar: Instagram @pinisi.id
Gambar kapal Pinisi tampak dari atas. Sumber gambar: Instagram @pinisi.id

Sementara itu, tali-temali dan layarnya terdampar di kawasan Bira, sedangkan lunas yang ada pada haluan hingga buritan kapal teronggok di Lemo-Lemo. Oleh masyarakat ketiga daerah itu, bagian-bagian perahu tadi disatukan dan dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang begitu megah dan kuat. Inilah yang kemudian dinamakan perahu/kapal Pinisi atau Penes.

Dari cerita rakyat itulah konon muncul ungkapan "Panre pata- ngan'na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo Lemoa." Maksudnya, untuk tali-temali kapal ahlinya adalah masyarakat Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan kapal) dari Ara, dan ahli menghaluskan kapal adalah masyarakat Lemo-Lemo.

Ungkapan yang berkaitan dengan kemampuan membuat parahu yang akhirnya diwariskan secara turun-temurun. Para pengguna Pinisi yakin bila para ahli dari ketiga daerah tadi terlibat dalam pembuatan perahu/kapal, maka dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.

Si kembar Sawerigading dan we Tenriabeng di balik sejarah kapal Pinisi. Sumber gambar: Warisan Budaya
Si kembar Sawerigading dan we Tenriabeng di balik sejarah kapal Pinisi. Sumber gambar: Warisan Budaya

Asal Muasal Penamaan Pinisi

Selanjutnya, mengapa diberi nama Pinisi? Kabarnya, nama Pinisi diambil dari nama bandar yang cukup ramai (kala itu) di Eropa Barat, tepatnya Venice, Italia.

Menurut cerita, pada masa lalu pelaut-pelaut dari Bugis memang sudah terbiasa mengunjungi bandar dunia, termasuk Venice (Italia), bersama kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia guna berdagang rempah-rempah ke Eropa.

Dan, orang Bugis memang terbiasa mengabadikan nama-nama tempat yang pernah disinggahi yang penuh kenangan atau yang mempunyai kesan istimewa pada perahunya.

Orang Bugis juga mengidentikkan perahunya dengan sejenis ikan yang mampu berenang sangat cepat di samudera lepas.

Harapannya, perahunya dapat berlari secepat ikan. Makanya, pemilik perahu Pinisi banyak menamakan perahunya dengan "Pinisi Palari" yang berarti Pinisi yang berlari cepat.

Dari proses perkembangan pembuatan Pinisi, dapat kita jumpai berbagai macam prototipenya. Ada yang dinamakan "Adarak" atau perahu yang terbuat dari papan bersusun tanpa paku. Ada pula "Nisikkok" atau perahu yang diikat.

Kemudian, ada "Salompong", yaitu perahu yang memiliki undakan pada haluannya. Pada dasarnya, kapal Pinisi yang asli adalah perahu yang bertiang dua. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, Pinisi bermetamorfosa menjadi "Jonggolan" atau perahu/kapal dengan haluan tertutup dengan tiang lebih dari dua. Pengerjaan Pinisi pun telah banyak dilakukan dengan teknologi yang lebih canggih dan maju.

Pembuatan perahu atau kapal Pinisi telah menjadi budaya atau adat-istiadat masyarakat Bugis. Tana Beru, Bontobahari dan Bulu- kumba, dan Sulawesi Selatan, merupakan salah satu sentra pembuatan Pinisi yang megah dan kuat. Sementara itu, masyarakat Ara dan Bira pun secara turun-temurun mewarisi tradisi pembuatan kapal/perahu nenek moyangnya.

Referensi Buku: Kembalikan Kejayaan Bahari Indonesia karangan Freddy Numberi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun