Orang sakti itu adalah nenek dari sang puteri dan sang pangeran sendiri. Keajaiban alam kembali terjadi. Tatkala pohon bertuah ditebang dan rubuh, pohon itu masuk ke dalam perut bumi dengan membawa serta sang nenek.
Mukjizat terjadi. Bersamaan dengan itu, keluar dari perut bumi sebuah parahu yang megah, indah dan kokoh.
Keesokan harinya, dengan perahu tersebut sang pangeran berlayar menuju negeri Tiongkok. Sebelum berlayar, sang pangeran sempat mengucap sumpah bahwa dia tidak akan pulang ke Luwu dengan membawa perahu tadi.
Di negeri Tiongkok, sang pangeran. berhasil mempersunting puteri We Cudai. Setelah sekian lama di negeri orang, sang pangeran toh rindu pulang kampung. Rupanya, sang pangeran melupakan sumpahnya. Dia pulang menuju Luwu dengan perahu ajaib yang dulu membawanya ke negeri Tiongkok.
Dewata pun menjadi murka. Menjelang perahu sampai di pantai Luwu, tiba-tiba lambung perahu pecah. Pecahan perahu itu terpencar ke tiga tempat, yaitu seluruh papan lambung perahu tergolek di daerah Ara.
Sementara itu, tali-temali dan layarnya terdampar di kawasan Bira, sedangkan lunas yang ada pada haluan hingga buritan kapal teronggok di Lemo-Lemo. Oleh masyarakat ketiga daerah itu, bagian-bagian perahu tadi disatukan dan dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang begitu megah dan kuat. Inilah yang kemudian dinamakan perahu/kapal Pinisi atau Penes.
Dari cerita rakyat itulah konon muncul ungkapan "Panre pata- ngan'na Bira, Paingkolo tu Arayya, Pabingkung tu Lemo Lemoa." Maksudnya, untuk tali-temali kapal ahlinya adalah masyarakat Bira, ahli memakai singkolo (alat untuk merapatkan kapal) dari Ara, dan ahli menghaluskan kapal adalah masyarakat Lemo-Lemo.
Ungkapan yang berkaitan dengan kemampuan membuat parahu yang akhirnya diwariskan secara turun-temurun. Para pengguna Pinisi yakin bila para ahli dari ketiga daerah tadi terlibat dalam pembuatan perahu/kapal, maka dapat dipastikan hasilnya akan sangat prima.
Asal Muasal Penamaan Pinisi