Alkisah, pada suatu masa, permaisuri Kerajaan Luwu, yang lokasinya berada di pesisir pantai Sulawesi Selatan itu, melahirkan bayi kembar tapi berbeda jenis kelamin (yang satu laki-laki dan satu lagi perempuan).
Si bayi laki-laki (sang pangeran) diberi nama Sawerigading, sedangkan bayi perempuan (sang puteri) diberi nama Watenri Abeng. Seiring waktu, kedua bayi kembar tersebut tumbuh sebagai remaja yang sama rupawannya.
Ketika beranjak dewasa, Sawerigading senang berkelana menjelajah samudera luas dalam waktu yang cukup lama. Pada saat kembali dari petualangan, Sawerigading tiba-tiba jatuh cinta kepada saudari kembarnya sendiri, Watenri, yang memang cantik rupawan itu.
Tentu saja, sang puteri Watenri menolak cinta sang pangeran yang aneh itu. Bahkan, mendengar syahwat cinta sang pangeran Sawerigading, Raja dan Permaisuri menjadi teramat marah. Sang Raja menegaskan bahwa hal itu tidak boleh dan tidak mungkin terjadi. Keinginan sang pangeran dianggap bisa mendatangkan murka para dewa yang akan membuat petaka bagi kerajaan Luwu.
Meskipun Raja begitu geram, sang pangeran tetap tidak peduli. Nah, di tengah kemelut itu, sang puteri mencoba untuk memberikan jalan keluar.
Sang puteri mengatakan kepada sang pangeran bahwa tidaklah mungkin dirinya menjadi isteri sang pangeran lantaran masih bersaudara kandung.
Namun, jika sang pangeran memang ingin tetap mempersunting seorang puteri yang kecantikannya mirip dengan dirinya, maka sang pangeran diminta untuk pergi ke negeri Tiongkok.
Sang puteri mengungkapkan bahwa di Negeri Tiongkok ada seorang puteri yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya. Namanya puteri We Cudai.
Sang pangeran menerima usulan dari saudari kembarnya itu. Namun, untuk berlayar ke negeri Tiongkok, sang pangeran membutuhkan perahu atau kapal yang kuat, bagus dan mampu mengarungi samudera.
Lalu, sang pangeran meminta kapal baru karena yang digunakan untuk menjelajah samudera selama ini sudah tua dan rapuh. Atas nasihat sang puteri pulalah akhirnya dibuat kapal dari sebuah pohon bertuah. Namanya pohon Welengrere milik Sang Hyang Dewata.
Dan, ajaibnya, pohon bertuah tadi tidak bisa ditebang. Untuk itu, atas saran sang puteri, diadakan upacara besar- besaran yang harus dipimpin oleh seorang yang sakti mandraguna.