Oleh Ustadz Oemar Mita, Lc*
Sudah menjadi hal yang umum bahwa ketika manusia berdoa, yaitu tentang apa yang mereka minta dan tidak berpikir mengenai Dzat yang hanya kepada-Nya kita pantas meminta pertolongan, Allah Azza wa Jalla.
Mereka berpikir tentang apa yang diminta, layaknya sekadar sedang menyerahkan proposal dari sebuah keinginan yang ingin didapatkan manusia. Hanya sebatas itu.
Dengan kata lain, mereka masih berpikir dari sudut pandang selaku manusia untuk memperoleh sesuatu, bukan melihat secara utuh bahwasanya doa itu lebih daripada apa yang mereka minta kepada Allah.
Coba perhatikan perkataan dari Umar Bin Khattab Radhiyallahu Anhu yang layak kita hadirkan pada hati kita ini:
"Aku adalah satu dzat yang sebenarnya. Aku tidak memperdulikan apakah doaku dikabulkan ataukah tidak. Namun, yang lebih aku perhatikan seandainya aku tidak lagi mendapatkan hidayah untuk berdoa."
Maka, apa yang dituju oleh Umar Bin Khattab bukan apa yang dikabulkan, melainkan bagaimana ketika beliau berdoa seakan mendapatkan kekuatan dan terkoneksi dengan Allah.
Dan, itu lebih yang lebih beliau cintai ketimbang terkabulnya doa, karena sesungguhnya Allah mempunyai hak untuk mengabulkan dan Allah terkadang memiliki hak untuk mengalihkan maupun menyimpan doa kita untuk kemudian diberikan ketika di akhirat.
Pasalnya, Allah memberikan setiap doa dari hamba-hamba-Nya dalam 3 cara pengabulan, yang terkadang tidak sesuai dengan yang kita mau, yaitu untuk disegerakan.
Untuk itu, yang dikatakan oleh Umar Bin Khattab Radiyallahu Anhu memberi pelajaran untuk kita.
Doa itu bukan semata-mata tentang apa yang dikabulkan dari permintaan kita kepada Allah.
Jika kita berdoa, kemudian kita memiliki pemahaman bahwa doa hanyalah sebatas permintaan kita yang harus dikabulkan oleh Allah Subhana wa Ta'ala, maka kita akan menjadi 'produk-produk' manusia yang materialistis. Manusia yang menyandarkan keimanan pada apa yang didapat.
Dan, apabila kita tidak mendapatkan jawaban dan merasa doanya sia-sia, lalu suudzon atau berprasangka buruk kepada Allah.
Padahal, kita bukan merupakan manusia produk materialisme yang mana keimanan dihargai dengan apa yang kita peroleh, serta apa yang kita lihat.
Kita adalah manusia produk yang beriman kepada perkara yang gaib, yang mana ketika kita sudah berdoa kepada Allah, bukan intinya apa yang dikabulkan dari apa yang Allah akan berikan untuk kita, tapi yang kita khawatirkan jikalau hati kita tidak lagi tergerak untuk berdoa.
Jadi, itulah yang lebih berbahaya sekadar urusan ketika doa kita tidak dikabulkan oleh Allah.
Dalam hal ini, salah satu ulama besar berkata, "Kalau aku berdoa lalu dikabulkan, maka aku gembira, tapi ketika aku berdoa lalu tidak dikabulkan menurut apa yang aku inginkan, maka aku aku jauh lebih bergembira dan bersukacita daripada kondisi yang pertama."
Mengapa? Beliau mengatakan, "Bila aku berdoa lalu dikabulkan, berarti itu pilihanku. Namun, jika aku berdoa kemudian tidak dikabulkan oleh Allah, berarti aku mendapatkan pilihan yang lebih baik dari pilihanku."
Karena pilihan Allah itu pasti jauh lebih baik daripada apa yang menjadi pilihan kita.
Allah terkadang tidak selalu memberi apa yang kita panjatkan di dalam doa kita, tapi Allah selalu memberikan yang terbaik dari apa yang kita butuhkan selama kita selalu berdoa.
Analogi sederhananya, seorang anak itu biasanya meminta banyak jajan kepada orang tuanya.
Dengan rekening yang dimiliki misalkan, satu miliar, sebenarnya si orang tua bisa membelikan jajan kepada anaknya sebanyak yang dia mau dari anak yang ingin membeli permen.
Maka jika dalam satu hari dia memberikan uang 50.000 ribu rupiah, sang anak akan mendapat satu kantong besar permen yang akan membuat si anak senang.
Akan tetapi, kenapa kita tidak memberikan permen kepada anak kita kecuali satu walaupun anak kita merengek-rengek untuk meminta lebih dari satu permennya dan kita tidak memberikannya?
Apa sebabnya kita cuma memberikan satu kepada anak padahal anak itu mintanya banyak, 5, 10, atau bahkan 15 permen agar dia puas? Tidak lain kalau kita tidak memberikan kontrol atas permen yang dia yang dia makan, mungkin dia akan meminta dalam seharinya bisa 15 permen, yang mana itu tentunya berbahaya.
Kita tahu bahwa apabila 15 permen diberikan kepadanya akan akan mudharat akan berbahaya bagi gigi dan kesehatannya dengan glukosa dan diabetes yang mengancam.
Maka, dengan analogi tersebut, tentunya Allah Maha bisa bisa memberi apa yang kita inginkan, tapi mengapa Allah tidak selalu mengabulkan apa yang kita inginkan? Karena pada dasarnya, bisa jadi apa yang kita inginkan terdapat keburukan kemudian Allah ganti dengan kebutuhannya, Allah cukupi dengan apa yang kita butuhkan.
Oleh karena itu, ketika seseorang pada saat tertentu berdoa kepada Allah Subhana wa Ta'ala, terkadang Allah tidak selalu mengabulkan setiap doa kita.
Kalau kita memahami bahwasanya doa hanya sebatas pengabulan dari apa yang kita inginkan, mungkin kita akan kecewa dan kekecewaan bisa mengurangi keimanan kita kepada apa yang Allah takdirkan.
Sebaliknya, bila kita berangkat dari titik tolak bahwasanya doa itu bukan masalah pengabulan, melainkan soal terkoneksinya hati kita kita, kita yakin kepada Allah bahwasanya Allah itu ada ketika kita berharap kepada-Nya, pada apa yang kita minta, getaran itu yang lebih ingin kita rasakan pada setiap doa yang kita panjatkan daripada hanya sebatas pengabulan.
Orang yang Mukhlis (ikhlas) bukan merupakan orang yang mereka selalu melihat Allah dari apa yang dia dapat, dia lah orang yang selalu melihat Allah, terlepas dari apakah dia mendapatkan atau tidak atas semua keinginannya dari Allah.
Inilah yang mengajarkan kepada kita bahwa sebuah doa itu merupakan salah satu di antara bentuk terbaik hubungan manusia kepada Rabb-nya, yakni ketika mereka memahami bahwa doa itu tidak hanya sekedar urusan fikih.
Doa Adalah Senjata bagi Orang Beriman
Doa adalah kekuatan. Sebab, kita tidak pernah mendapati sesuatu yang lebih kuat daripada doa. Itulah sebabnya, Rasulullah memilih redaksi haditsnya dengan kalimat 'Senjatanya orang yang beriman'.
Kenapa doa itu disebut dengan senjata? Karena senjata identik dengan kekuatan untuk menghabisi musuh-musuh yang ada di dalam peperangan. Makannya, melawan musuh menggunakan senjata daripada dengan tangan kosong tentu berbeda. Lebih cepat mematikan musuh menggunakan senjata.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri membidik doa dengan sebuah sifat yang sejatinya mewakili hakikat dari doa itu sendiri. Beliau mengatakan bahwa doa merupakan senjatanya orang beriman karena doa itu memberikan kepada kita kekuatan.
Bahkan, kekuatan yang melesat dari doa itu melebihi apa pun yang ada di atas muka bumi ini. Kekuatan cahaya sekalipun tidak bisa mengalahkan kekuatan doa. Begitu juga resonansi dari kekuatan suara tidak akan bisa mengalahkan kekuatan doa.Â
Mengapa demikian? karena kekuatan doa bisa memberikan kepada kita sebuah perkara besar, sampai urusan barzakh sekalipun mampu dicapai dengan doa.
Kita, misalnya, selaku anak. Ibu kita meninggal, kita menangis. Tangisan hingga rengekan kita tidak akan pernah terdengar oleh ibu kita karena barzakh sudah memisahkan.
Barzakh itu dinding tebal yang tidak bisa ditutup dan tidak bisa ditembus dengan, dan oleh apa pun.
Namun, ketika ada anak lirih saja berdoa, meskipun antara dia dan telinganya, atau pun orang yang disampingnya tidak bisa mendengar doa itu, tetapi doa itu melesat dengan luar biasa ke atas langit bagai panahÂ
Mengapa? Karena doa itu ibarat panah yang melesat. Ketika sudah melesat, maka tidak kembali kecuali adalah kebaikan yang kita peroleh, dan kita memetiknya pada kehidupan manusia. Itulah doa.
Maka dari itu, kekuatan terbesar kita yang sesungguhnya terletak pada doa. Jadi, ini adalah perkara yang harus untuk kita mengimaninya.
Ketika kita sedang dalam kondisi dizalimi atau tentang perkara apa pun itu, maka sesungguhnya tidak ada yang memberikan kekuatan kepada diri kita kecuali doa.
Bukankah kita melihat doa adalah senjata Nabi Ibrahim ketika beliau tidak bisa menemani Ismail dan Hajar setiap waktu dan setiap saatnya. Doa menjadi kekuatan Nabi Ibrahim ketika dirinya tidak bisa menemani Ismail ketika beliau harus berada di Palestina.
Namun, mengapa Ismail Alaihi wa Salam mampu menjadi Nabi dan menjadi Rasul sepeninggal bapaknya? Karena berkat kekuatan doa. Makanya, doa yang banyak Allah abadikan dari kehidupan Nabi Ibrahim merupakan doanya kepada putra-putra beliau.
Ini menunjukkan kepada kita dengan apa yang dinamakan dengan sebuah kekuatan doa. Maka dari itu, selama kita masih punya yang namanya doa, maka selama itu kita masih punya kekuatan.
Seorang pebisnis hancur berantakan ketika ditipu rekan bisnisnya, dia masih punya modal besar, yaitu berdoa
Ketika ada seorang Ibu yang sedih karena mendapati putra-putrinya tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan dan bayangkan, maka dia masih punya kekuatan berdoa.
Jika ada seorang Dai ketika dia menghadapi objek dakwahnya yang tidak segera menyambut apa yang disampaikannya, masih ada kekuatan doa.
Bila ada seorang istri ketika dia berharap kebaikan kepada suaminya, tapi suaminya tidak kunjung melakukan yang diharapkan, dia masih punya kekuatan doa.
Dan, ketika ada seorang suami berharap kebaikan baik untuk istrinya tapi tetap tidak berubah sesuai dengan harapan, dia pasti punya kekuatan doa.
Begitu besarnya perkara doa, hingga ketika kita di dalam pernikahan saja, Sunnah pertama kali yang perlu dilakukan adalah mengecup kening istri kita seraya mendoakan, "Ya Allah, aku memohon kebaikan dari wanita ini, dan kebaikan yang Engkau ciptakan atasnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan atasnya."
Sampai di sini, jangan pernah kita menganggap doa itu hanyalah sebatas 'alah cuma', karena Allah akan memberikan kita sesuai prasangka kita.
Kalau kita sudah berprasangka jelek, lalukita under estimate kepada doa, padahal Rasulullah mengatakan dia adalah senjata orang yang beriman. Jadi, kita harus yakin dan menghadirkan doa dengan sepenuh hati dan sepenuh jiwa bahwasanya doa adalah kekuatan.
Â
*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Ustadz Oemar Mita dengan judul asli "Allah Menjadikan Doa Lebih Kuat dari Takdir-Nya"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H