Doa itu bukan semata-mata tentang apa yang dikabulkan dari permintaan kita kepada Allah.
Jika kita berdoa, kemudian kita memiliki pemahaman bahwa doa hanyalah sebatas permintaan kita yang harus dikabulkan oleh Allah Subhana wa Ta'ala, maka kita akan menjadi 'produk-produk' manusia yang materialistis. Manusia yang menyandarkan keimanan pada apa yang didapat.
Dan, apabila kita tidak mendapatkan jawaban dan merasa doanya sia-sia, lalu suudzon atau berprasangka buruk kepada Allah.
Padahal, kita bukan merupakan manusia produk materialisme yang mana keimanan dihargai dengan apa yang kita peroleh, serta apa yang kita lihat.
Kita adalah manusia produk yang beriman kepada perkara yang gaib, yang mana ketika kita sudah berdoa kepada Allah, bukan intinya apa yang dikabulkan dari apa yang Allah akan berikan untuk kita, tapi yang kita khawatirkan jikalau hati kita tidak lagi tergerak untuk berdoa.
Jadi, itulah yang lebih berbahaya sekadar urusan ketika doa kita tidak dikabulkan oleh Allah.
Dalam hal ini, salah satu ulama besar berkata, "Kalau aku berdoa lalu dikabulkan, maka aku gembira, tapi ketika aku berdoa lalu tidak dikabulkan menurut apa yang aku inginkan, maka aku aku jauh lebih bergembira dan bersukacita daripada kondisi yang pertama."
Mengapa? Beliau mengatakan, "Bila aku berdoa lalu dikabulkan, berarti itu pilihanku. Namun, jika aku berdoa kemudian tidak dikabulkan oleh Allah, berarti aku mendapatkan pilihan yang lebih baik dari pilihanku."
Karena pilihan Allah itu pasti jauh lebih baik daripada apa yang menjadi pilihan kita.
Allah terkadang tidak selalu memberi apa yang kita panjatkan di dalam doa kita, tapi Allah selalu memberikan yang terbaik dari apa yang kita butuhkan selama kita selalu berdoa.
Analogi sederhananya, seorang anak itu biasanya meminta banyak jajan kepada orang tuanya.