Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampai Batas Mana Akal Manusia dalam Keimanan?

24 Agustus 2023   03:37 Diperbarui: 4 Januari 2024   19:49 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi berpikir.  Sumber: pixabay

Itu berarti, jin dan manusia itu punya kesamaan karena mereka sama-sama punya akal dan sama-sama Allah perintahkan untuk mengenal-Nya. Itu juga berarti akal adalah satu-satunya cara untuk bisa mengimani Allah.

Lebih jauh, kita juga harus membedakan secara tegas antara mengimani Allah dengan taat pada syariat Allah. Singkatnya begini, kalau kita bicara tentang aqidah, maka kita tidak boleh ikut-ikutan aqidah agama orang lain, dan satu-satunya cara agar tidak ikut-ikutan seperti itu adalah dengan menggunakan akal agar dia mencapai satu keyakinan berdasarkan dalil.

Nah, karena dia mendapatkan Iman atau aqidah dengan menggunakan akal, maka dia mendapatkan bukti sehingga dia menjadi yakin. Artinya, meskipun dia melihat ada orang yang murtad misalnya, atau ada orang yang tidak mau beriman, itu tidak menjadikannya tidak beriman juga karena imannya bukan ikut-ikutan, melainkan berdasarkan kesadaran dari hasil berpikir.

Seandainya dia mendapatkan keimanan dengan menggunakan akal, walaupun dia tinggal sendirian maka dia tetap akan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Penegasannya, Allah meminta kita untuk berpikir. Sebaliknya, Allah mencela orang-orang tidak berpikir. Meski begitu, Allah memberi batasan bahwa berpikir hanya untuk mencapai Allah, sedangkan dalam urusan aqidah atau dalam urusan syariat, maka akal tidak lagi berfungsi sebagai sebuah penentu, tapi sebagai sebuah tool untuk memahami.

Akal berguna untuk bisa mencari eksistensi Allah. Adapun setelah eksistensi Allah ini berhasil dipahami, maka akal berfungsi sebagai tool untuk memahami aturan-aturan Allah.

Analogi sederhananya begini. Akal itu gunanya untuk pasien memastikan apakah seseorang itu dokter atau bukan. Jika sudah memastikan dokternya berdasarkan akal hingga memiliki bukti, lalu resep-resep yang diberikan sang dokter bisa jadi tidak masuk akal si pasien karena dia tidak belajar dan dia tidak tahu ilmu kedokteran, sedangkan dokternya tahu.

Saat dia sudah menentukan bahwa ini benar dokter, maka apapun yang menjadi resep dokter itu dia terima dan taati karena itu berarti masuk logika. Dari mana logikanya? Yaitu memastikan bahwa dia adalah dokter. Logikanya, kalau sudah memastikan dia dokter, maka apapun yang datang dari dokter itu pasti baik, meskipun mungkin tidak sesuai dengan akal logika kita. Itu logikanya.

Maka dari itu, jika ada orang yang mengatakan, "Ah, orang Islam nggak masuk akal, kalau kentut keluarnya kan dari belakang, kenapa yang dibasuh muka?"

Nah, berarti dia tidak ngerti logika tentang dokter tadi. Berdasarkan logika dokter sebelumnya, bila sang dokter sudah menyuruh sesuatu dan karena kita sudah mengetahui pasti dokternya, maka semuanya sudah selesai. Mengapa? Karena secara logika, jika itu yang menyuruh adalah dokter maka suruh pasti benar.

Nah, itu dokter, apalagi Allah. Maka logikanya adalah menemukan eksistensi Allah bahwa Dia pencipta kita dan Islam adalah agama yang benar, dan ini semua dipastikan dengan akal. Setelah ini selesai, maka apapun yang Allah perintahkan menjadi sesuatu yang masuk akal juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun