Jadi, itulah cara menempatkan akal dalam keimanan, jika bicara tentang syariat maka akal sudah selesai. Tinggal sami'na wa atho'na/kami dengar dan patuh (QS Al-Baqarah 285), bukan untuk dipikirkan lagi.
Jadi, jangan sampai sami'na/kami dengar lalu kami mikir-mikir dulu, kami timbang-timbang dulu kemudian akan kami putuskan untuk taat atau tidak, tapi langsung dengar dan taat karena akal sudah digunakan untuk mencapai Allah dan kemahaan-Nya, kehebatan-Nya, dan kemahatahuan-Nya.
Banyak orang-orang terkadang memahami hal ini secara terbalik. Dalam urusan aqidah dia ikut-ikutan, sedangkan dalam urusan syariat dia banyak tanya. Harusnya adalah dalam urusan aqidah dia banyak tanya sampai yakin. Setelah yakin, dalam urusan syariah dia bisa ikut-ikutan.
Oleh sebab itu, dalam syariat ada yang namanya taklid, dan kita sebagai seorang mukalid (orang yang mengikuti) tidak masalah, mengikuti sesuatu tanpa kita tahu kepastiannya atau bagaimana istinbath atau hukumnya. Menurut para ulama, bagaimana seseorang menggali hukumnya. Tinggal kita mendapat fiqih dari syariat.
Dalam perkara aqidah, seperti yang tertuang di dalam Surah Al-Anbiya ayat 52, Allah mengkritik orang-orang yang ikut-ikutan. Ibrahim bertanya kepada kaumnya, "Apa ini sesembahan-sesembahan yang kau sembah padahal tidak masuk akal sama sekali?", maka orang-orang yang ditanya itu menjawab, "kami mendapati nenek-nenek moyang kami dulu juga menyembah mereka. Jadi kami lakukan sebagaimana mereka. Kami cuma ikut-ikutan."
Maka mereka mendapat laknat dari Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H