Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengharapkan Peran yang Lebih Kontributif dari Pemuka Agama

14 Juli 2023   04:00 Diperbarui: 14 Juli 2023   10:25 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sadarkah kita bahwa jumlah pendakwah atau pun pemuka agama seperti ustadz, pastor, pendeta, dan lainnya di Indonesia semakin hari terus bertambah.

Banyaknya jumlah tersebut tentu saja belum mencakup beberapa nama-nama baru yang mulai dikenal lewat platform media sosial, tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan, serta tidak pernah mengambil konsentrasi di bidang dakwah secara khusus.

Itu pun belum termasuk yang banyak "numpang nama" dan lahir di beberapa jejaring sosial tersebut. Dan belum termasuk mereka yang memang tidak pernah terekspos oleh media.

Tentu saja itu merupakan hal yang baik, terlebih jika memang apa yang disampaikan tersebut juga mampu mengajak orang lain melakukan kebaikan. Akan tetapi, apakah dampak tersebut memiliki manfaat langsung bagi para jamaah secara luas?

Sayangnya harus dikatakan bahwa kuantitas para pemuka agama ini tidak berbanding lurus dengan manfaat langsung yang diperoleh para jamaah. Jamaah dalam hal ini tentu saja adalah masyarakat luas. Malahan, sosok-sosok baru terus bermunculan dengan ajaran barunya menurut versinya masing-masing.

Bukannya memberikan solusi terhadap dahaga para pendengarnya, yang terjadi justru orang semakin dijejali kebingungan-kebingungan yang baru.

Sebagaimana kita ketahui bahwa para pemuka agama merupakan orang yang telah mewakafkan dirinya untuk mengabdi langsung kepada Tuhan secara bulat-bulat.

Begitu mulianya profesi seorang wakil Tuhan ini sehingga menurut kepercayan Islam, mereka adalah salah satu barisan yang pertama kali dihisab di hari kemudian. Maka sepatutnya, keistimewaan ini betul-betul bisa dimanfaatkan dengan optimal selagi hidup di dunia.

Kepandaian retorika dan wawasan mereka yang luas saat ditunjukkan di atas mimbar-mimbar rumah ibadah jelas sangat kita butuhkan guna terus memupuk keimanan yang keadaannya selalu fluktuatif.

Namun, hanya sebatas itukah peran dan kontribusi pemuka agama sehingga berlepas diri setelah keluar majelis serta menganggap "tugas ceramah sudah selesai?"

Faktanya, masalah serius lainnya yang sudah menanti seseorang di luar majelis tak patut untuk diabaikan sama sekali. Detik ini juga orang bisa dengan yakin dan teguh dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan perspektif agama yang sudah disampaikan oleh pemuka agamanya.

Namun di detik berikutnya, siapa yang bisa menjamin orang tidak akan memilih jalan yang salah karena masalah sulitnya berkompromi dengan perut keroncongan?

Mirisnya lagi, masyarakat kita saat ini terkesan tengah mengalami krisis identitas sehingga siapa pun tokoh maupun paham-paham baru yang muncul, bisa mereka terima dengan senang hati sembari berharap datangnya "harapan baru."

Jati diri sebagai bangsa saat ini terancam semakin terkikis seiring memudarnya nilai-nilai gotong-royong dan semangat ukhuwah (solidaritas antar pemeluk agama) yang semakin melemah.

Suatu waktu orang mulai tidak puas dengan kehidupannya lalu mencari pelarian dan suatu kebanggaan dari sejarah bangsanya. Namun, antusias itu tak berlangsung lama karena melihat kenyataan dari pemimpin dan masyarakatnya yang saling bertikai demi membela ego masing-masing.

Kemudian, orang semakin tidak puas dengan kehidupannya lalu mencari petunjuk dan suatu kebanggaan dari kebesaran sejarah agamanya. Namun, perasaan bangga itu hanya bertahan sesaat karena melihat perilaku pemeluknya yang kian bertolak belakang dari pesan-pesan agama. 

Hingga pada akhirnya orang benar-benar kehilangan identitas diri dan bangsanya sendiri, sehingga apatisme menjadi satu-satunya jalan yang dianggap paling rasional.

Maka tak heran jika apa pun dari secuil narasi yang diangkat dunia internasional selagi menyangkut sebuah negara bernama Indonesia, seolah berita itu selama-lamanya harus diwartakan.

Demikian halnya yang terjadi pada romantisme sejarah agama. Orang seakan menolak kenyataan bahwa agamanya itu sudah kehilangan marwah di hadapan peradaban lain. 

Dalam hal kontribusi nyata pemuka agama dalam membangkitkan kembali, semangat, harapan, dan kepercayaan diri para jamaahnya, tak perlu terlalu muluk-muluk untuk memulai.

Dari segi ekonomis misalnya, jika dari 100 para pemuka saja agama yang ada di Indonesia mau menyisihkan uang sekecil-kecilnya Rp100.000 untuk disedekahkan setiap hari, maka terkumpulah uang itu menjadi Rp10.000.000.

Bukankah Nabi Muhammad menyatakan bahwa amalan yang disukai Allah adalah amalan kecil tapi berkesinambungan?

Maka, dengan mengalokasikan uang tesebut kepada 10 juta orang secara merata, itu berarti mereka sudah memenuhi standar hidup sebanyak 10 juta masyarakat kurang mampu setidaknya dalam satu hari. Dengan kata lain, mereka pun secara otomatis turut mendukung program pemerintah dalam memberantas kemiskinan.

Belum lagi seandainya ada 100 lagi pemuka yang tergerak hatinya untuk bersama-sama melakukan hal serupa.

Selain itu, dengan aksi nyata yang dilakukan para pemuka agama ini, kemungkinan besar orang-orang kaya pun berbondong-bondong menyedekahkan sebagian kecil hartanya.

Bahkan, bukan tidak mungkin aksi kebaikan ini ikut merembet pada menurunnya tingkat kriminalitas di Indonesia. Sebuah efek berganda (multiplier effect) yang akan tercatat sebagai sejarah indah pada negeri ini, dan sebuah dedikasi luar biasa yang pernah dilakukan para pemuka agama.

Dari aspek timbal-balik, pastinya tidak ada satu pun dari kebaikan yang sia-sia di hadapan Tuhan. Apalagi Dia sudah menjamin balasan menjadi 10, 700, dan bahkan tak terhingga kepada orang yang mendermakan hartanya di jalan-Nya. Tergantung kadar keikhlasan si pemberi.

Jadi, peranan nyata dari pendakwah semestinya tidak berhenti sampai pada pembenahan sisi internal seseorang yang biasa dilakukan dalam majelis.

Adakalanya keimanan seseorang justru tumbuh dari situasi eksternal dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami langsung melalui peristiwa-peristiwa di sekitarnya, salah satunya dari uluran tangan para pendakwah.

Lebih dari itu, saya sangat yakin 1100% dengan digalakkannya tindakan mulia ini, rakyat kecil masih merasa punya secercah harapan terhadap dunia dan kehidupannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun