Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Foto Lama

20 Juni 2023   17:20 Diperbarui: 15 Juli 2023   16:33 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Sandy Novan Wijaya

Satu jam setelah kedatangannya di coffee shop yang menjadi tempat favoritnya, dan ia memilih bangku yang langsung menghadap ke jalan raya. Kini, Saka mulai merasakan kejenuhan. Americano-nya juga sudah tandas hanya menyisakan ampas warna hitam.

Seperti ada yang menuntunnya, atau ia memang benar-benar jerah sedari tadi, tiba-tiba laki-laki itu mencoba untuk membuka akun jejaring sosial Facebook miliknya yang sudah lama sekali tak lagi pernah ia gunakan. Sudah sangat berdebu mungkin bila itu adalah sebuah gedung atau rumah.

Ia mulai mengecek satu per satu warna merah pada fitur pesan, permintaan pertemanan, gambar globe yang menyimbolkan pemberitahuan, atau sekadar melihat-lihat foto-foto profilmemalukan. Entah mengapa Saka merasa kalau foto-foto itu dulu sangat keren pada zamannya. Namun, khusus untuk Saka, ia memang dulu begitu keren seolah dandanan sehari-harinya 10 tahun lebih maju daripada teman-temannya.

Tidak ada sesuatu pun informasi yang berarti. Lantas sampai ia terus menggulir dengan santai lini masa yang memuat cukup banyak hal yang pernah ia bagikan; foto, video, status, dan catatan, termasuk juga perayaan momen-momen tertentu bersama teman-teman sekolah dan kuliahnya dulu.

"Ternyata banyak yang berubah tampilan dan fitur-fiturnya". ucap Saka dalam hati.

Terkadang ia tersenyum geli, ketika mendapati status-status maupun beberapa album foto yang pernah ia sebarkan di setiap lini masa di profilnya itu. Betapa kini ia baru menyadari bagaimana cara Saka menyikapi persoalan perihal masalah hidup yang pernah menyertainya. Baru lah sekarang pula, ia benar-benar menyadari bahwa segala bentuk kepedihan atau kebahagiaan yang pernah ada, tak selamanya akan tinggal bersamanya.

Pada satu titik, sampai lah ibu jari dan matanya serempak menangkap sebuah l foto bunga mawar berkepsyen, "Thank you so much, Sak". Tak menunggu lama untuk pikirannnya menerawang jauh memasuki dimensi lain untuk membuka kembali memori jangka panjang yang sebenarnya sudah lama ia kubur dalam-dalam.

'Iya gue terima. Gue juga suka kok sama lo. Makasih Saka buat bunganya juga'.

Kini, Saka seperti ingin meluapkan kegembiraannya saat itu juga. Sementara Saka terus menatap kosong ke atas langit, di saat yang bersamaan pria itu terus membiarkan sukmanya menjelajahi sebuah masa lalunya.

Selang beberapa waktu kemudian, lamunannya beralih melompat ke ke satu setengah bulan setelah ingatan yang pertama.

(1 Pesan Diterima)

Lara: Tadi kenapa kayak gitu banget ngeliatin gue? Gak seneng ya ketemu gue?

Saka: Yaelah bulan gitu kali, namanya juga ketemu gak sengaja di jalan. Jadi kayak kaget aja.

Lara: Terus tadi dari mana, mau kemana, abis ngapain?

Saka: Dari kampus abis ngurus KRS-an terus mau balik.

Lara: Jutek amat kali balesnya.

Dua puluh menit kemudian.

Saka: Gue lagi bawa motor, ra. Bukan jutek.

Lara: Yaudah.

Lara membalas secepat kilat.

Dan, itu menjadi komunikasi terakhir mereka untuk beberapa tahun lamanya. Jauh dari dalam hatinya, Saka ingin sekali melakukan banyak lagi komunikasi dengan Lara, paling tidak bertanya kabar. Pasalnya, sudah satu bulan lebih ia tidak pernah lagi mengetahui kabar apa pun dari seseorang yang pernah sangat dicintainya itu. Rasanya waktu satu bulan setengah itu juga nyaris seperti menenggelamkan asmara yang pernah mereka jalin.

Tetapi Saka segera menyadari satu hal, bahwa ternyata waktu selama itu juga belum cukup untuk melakukan perubahan bagi Lara. Ia sudah benar-benar menyerah. Tidak ada yang harus diperjuangkan lagi. Kecewa memang, tapi begitulah kadang hidup memberikan pengajarannya. Toh, mereka berdua seolah-olah dipertemukan semesta hanya untuk berdebat dan saling bertentangan dalam segala hal.

Dan yang terpenting, Saka tak henti-hentinya mendoakan kepada Sang Pemilik Hati. Ia terus bermunajat agar Lara terus berada dalam penjagaan-Nya, karena memang Saka tidak pernah ingin meninggalkan sekecil apa pun luka di hati wanita itu. Saka ingin agar Lara hidup bahagia di setiap langkah kakinya.

Saka telah belajar bahwa menyayangi sesuatu bukan berarti harus selalu mengajaknya untuk mengayuh sepeda yang sama. Karena memiliki sesuatu tidak selalu harus yang kasat mata.

Teruntuk Lara, kepada siapa pun pada akhirnya hatinya akan berlabuh untuk selamanya, Saka selalu berharap bahwa sosok itu mampu membimbingnya dengan lebih baik dan bijak. Mampu menasihati tanpa perlu menyakiti. Menjaga untuk selalu menjadikannya berharga. Saling memahami dalam setiap apa pun keadaannya tanpa harus bersikeras dalam membela egonya sendiri.

"Hai, Saka. Assalamualaikum". Sebuah pesan WhatsApp cukup membuyarkan lamunannya di sore itu, dan kemungkinan Saka akan tetap di tempatnya entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun