Kita masih menganggap hasil dua pertandingan itu wajar-wajar saja, secara di atas kertas mereka masih unggul, sebagai ajang uji mental, belajar, persiapan AFF dan alasan-alasan lain untuk menutup-nutupi kelemahan kita.
Dua bulan setelah laga kontra Uruguay, tepatnya di bulan Desember 2010, saya pertama kali mengikuti berita-berita Timnas dan sangat antusias menyaksikan mereka berlaga di eranya Christian Gonzales (dalam top performanya) dan kawan-kawan ketika saya belumlah genap berusia 20 tahun.
Sejak saat itu hingga sebelum terjadi petaka, sedemikian rupa hingga saya tidak ingin melewatkan aksi-aksi mereka di atas lapangan, terutama di ajang Piala AFF pada bulan Desember 2010.
Akan tetapi, antusias saya perlahan tergantikan dengan kekecewaan demi kekecewaan di tahun-tahun berikutnya. Kekalahan demi kekalahan, gol demi gol yang menyarang ke gawang Timnas Indonesia seolah membuyarkan mimpi-mimpi para penggemar sepakbola tanah air untuk terus menyaksikan tim kesayangannya mampu berprestasi lebih jauh.
Dua tim yang baru kita hadapi di FIFA Matchday kemarin, Palestina dan Argentina, perlahan tapi pasti menunjukkan performa yang terus menanjak. Khusus bagi Palestina, mereka pernah mengalami nasib yang tidak lebih baik dari Timnas kita dengan menghuni peringkat terendah 191 FIFA dari 191 negara dan peringkat tertinggi 73, sedangkan kita pernah mencicipi manisnya 100 besar dengan peringkat tertinggi 76 pada 1998 dan terpuruk di peringkat 191 pada 2016. (Republika, FIFA).
Sementara itu, Argentina sudah dua kali menginjak ke partai final Piala Dunia di tahun 2014 dan 2022 dalam 10 tahun terakhir, dan baru lah di edisi 2022 mereka kembali menasbihkan diri sebagai juara dunia untuk yang ketiga kalinya. Namun pak, sebaliknya dengan situasi dan  kondisi, entah mengapa semakin hari performa Timnas Indonesia terus menurun bahkan terperosok hingga ke lubang yang paling gelap.
Saya juga tidak tahu apa yang betul-betul terjadi dengan PSSI hingga FIFA membekukan Indonesia dari kompetisi resmi di dalam naungannya buntut dari dualisme pengurusan liga pada tahun 2015.
Setelah saya telusuri, rupanya timnas kita memang sudah terbiasa harus puas menjadi spesialis runner-up di Piala AFF tanpa raihan prestasi bergengsi dan federasi kita kerap bermasalah.
Lebih jauh di pentas Asia, di abad ke-21 ini kita tidak pernah mampu berbuat banyak di kompetisi paling bergengsi di benua Asia, yakni Piala Asia. Jangankan trofi, berjuang di jalur kualifikasi untuk Piala Asia dan Piala Dunia saja kita terseok-seok seolah tanpa pernah ditakdirkan mementas di sana. Agak ironis melihat antara prestasi dan antusiasme para supporter sepakbola Indonesia tidak berbanding lurus.
Kita seakan hanya menjadi tim pelengkap (padahal negara besar) untuk meramaikan setiap diadakannya kompetisi sepakbola. Kalau sedang benar-benar tidak beruntung, kita harus pasrah menjadi bulan-bulanan tim lain dengan dijadikan lumbung gol.Â
Maafkan saya pak harus berbicara demikian karena percayalah bahwa kami sangat-sangat mencintai negara dan bangsa ini, terutama Timnas Indonesia.