Dulu, saat jagung baru tumbuh dari tangkainya, saat segala beban masih ringan. Saat pepohonan masih bersahabat dengan angin dan juga keluguan semesta masih menyaput mata. Itu adalah saat jiwa-jiwa berkejaran dengan penjaganya, bersama bidadari surga berhati mulia.Â
Seorang yang rahimnya dikorbankan untuk menanggung beban dan menampung kehidupan yang akan datang di kemudian hari. Lantas, aku akan menuturkan tentang bidadari milikku.
Ini dia ....
Seorang yang desau suaranya menenangkan serak-parau tangisku. Tangannya hangat menelungkup sekujur tubuh mungil telanjangku. Menyibak segala onak-rintang pada jalan-jalan dunia. Memberi pengajaran tentang penghargaan dan penerimaan.
Suatu hari sang bidadari berkata: "kemarilah sayang, Ibu hendak menceritakan kisah seorang Ibu dan anaknya yang durhaka". Suara lembutnya menelusup ke gendang telingaku.
Lalu, kuarahkan seluruh perhatianku dengan penuh ketakziman pada senyum hangatnya.
Mulailah dia berkata, "Nak, kamu tahu tentang legenda seorang anak yang dikutuk Ibunya jadi batu? Itu terjadi dulu, dulu sekali. Saat jiwamu masih di kandung ghuzanah Tuhan dan saat kami belum jadi penjagamu di dunia ini".
Ia melanjutkan ceritanya, "Anak tersebut adalah anak yang baik seperti halnya dirimu, baik sekali. Namun, kekurangan membuatnya resah, melihat kerentaan ibunya dalam kungkungan gubuk derita, itu menyakiti hatinya. Kemudian, dia meminta izin agar bisa berlayar menerjang lautan, melewati batasannya.
"Dengan berat hati yang serasa gompal separuhnya, sang Ibu memberi izin bagi anak tercintanya, mutiara hati pelipur lara hari tuanya. Dan, dengan semringah si anak bertolak pada samudera biru sehabis dirinya dipayungi restu.
"Dia memimpikan hari-hari hebat, mengubah gubuk derita menjadi istana surga baginya dan sang Ibu. Namun, Tuhan selalu tahu mana yang terbaik. Maka, dibiarkanlah sang anak diterjang badai, terdampar, lalu singgah tanpa sengaja di suatu pulau. Dia memulai kehidupan baru di pulau asing itu.