Mohon tunggu...
Sandy Irawan
Sandy Irawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

M. Ramahurmuziy Luruskan Polemik Dana Haji

2 Agustus 2017   19:34 Diperbarui: 2 Agustus 2017   22:41 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

M. Romahurmuziy ikut urun rembug soal polemik soal dana haji yang beberapa hari terakhir menyeruak dan viral menjadi bahasan di dunia maya. Polemik menyusul pelantikan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) oleh Presiden Jokowi. BPKH merupakan lembaga yg dibentuk sbg amanat UU No. 34/2014 ttg Pengelolaan Keuangan Haji. Lembaga ini terdiri atas orang-orang berintegritas di Badan Pengawas dan Badan Pelaksana yang diseleksi oleh Panitia Seleksi, kemudian dipilih oleh DPR.

Selama ini Dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang "waiting list" sebelum terbentuknya BPKH telah diinvestasikan ke instrumen bank. Hal ini dimaksudkan agar dana yang sudah mencapai sekitar Rp 98 trilyun dan terus bertambah dapat memberi timbal balik untuk menyubsidi jama'ah.

Jika dikalkuklasi mestinya keberangkatan haji memerlukan biaya 40jt-an, namun krn setiap jama'ah mendapat imbal hasil dari investasi, maka mereka hanya membayar 30jt --an. Imbal hasil selama ini tentu tidak sesederhana Rp 98 trilyun x 14% bunga pinjaman per tahun atau Rp 14 trilyun per tahun. Dari imbal Rp 14 trilyun & 200rb-an jama'ah haji per-tahun diasumsikan keberangkatan jama'ah mestinya gratis? Logika hitungan seperti itu menyesatkan. Karena investasi dana haji selama ini hanya ditanam di instrumen bank yg super aman yaitu deposito atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Krn itu imbal hasil dana haji hanya di kisaran Sukuk atau BI rate yg saat ini sekitar 5-6% per tahun. Ke depan, seiring imbal hasil yg bertambah krn akumulasi setoran calon jama'ah, dipastikan BPIH akan semakin turun atau tidak mengalami kenaikan.

Soal komponen apa saja yang boleh di-BPIH-kan inipun harus didasarkan atas persetujuan Komisi Agama di parlemen. Karena keputusan ttg besaran BPIH selalu didasarkan atas konsultasi Pemerintah dalam hal ini Kemenag, kepada rakyat dalam hal ini komisi 8 DPR.

Pasca lahirnya UU No. 34/2014, investasi dana haji harus didasarkan prinsip syariah, tdk boleh lagi di instrumen bank konvensional. Pasca BPKH terbentuk, dana haji lebih dioptimalkan utk aneka investasi syar'i dg tujuan meningkatkan imbal hasil namun tetap aman. Hasil pengelolaan keuangan haji disamping untuk se-besar2 kepentingan jama'ah, diharapkan juga bermanfaat utk rakyat banyak. Seperti peningkatan kualitas penyelenggaraan haji, penurunan Biaya BPIH & kemaslahatan jama'ah haji lainnya, di satu sisi. DiSisi lain, ditanam di emas, SBSN, obligasi syariah, investasi terkait haji, atau pembangunan infrastruktur, yg sdh terbukti berjalan imbal hasilnya.

Instrumen investasi keuangan haji mesti beragam untuk menyebar resiko, krn ini dana calon jama'ah haji, BUKAN milik Negara. Pelaksanaan investasi harus penuh kehati2an, yg terpenting harus memenuhi prinsip2 syariah dan perundang-undangan yg berlaku. Beberapa pihak yang menolak dan memasalahkan investasi menggunakan Dana BPIH , ada perlunya mereka membaca Keputusan Ijtima' Fatwa MUI 2012. Tepatnya Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV/2012 tentang status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Disebutkan: dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dlm rekening Menteri Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yg produktif. Diantaranya penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk lainya.

Fatwa MUI 2012 tsb sejalan dg aturan perundang-undangan terkait pengelolaan dana haji. UU Nomor 34/ 2014 mengatur, BPKH selaku Wakil menerima mandat dari calon jama'ah selaku Muwakkil utk menerima&mengelola setoran BPIH.

Terhadap pihak yg berpendapat bahwa pemerintah/BPKH harus meminta izin kpd jemaah haji, scr yuridis tdk lagi perlu. Sebab, utk mengelola dana haji oleh Kemenag/BPKH, calon jama'ah telah mengisi formulir akad "wakalah" saat membayar setoran awal BPIH. Dalam akad tsb, calon jama'ah selaku Muwakkil memberi kuasa kpd Kemenag selaku Wakil utk mengelola dana setoran awal BPIH. Penerapan akad Wakalah sejatinya juga diatur di UU nomor 34/2014 ttg Pengelolaan Keuangan Haji. Plus diatur dg Peraturan Pemerintah.

Kalau hari-hari ini msh ada yg mempertanyakan transparansi dana haji, sebenarnya DPR sudah menjawab keresahan itu. Dengan menerbitkan UU 34/2014 yg mengatur tata kelola keuangan haji yg memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance. UU 34/2014 memenuhi tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas pengelolaan keuangan haji. Bahkan Badan Pengawas dan Badan Pelaksana BPKH saat ini berisi kombinasi ideal dr eks birokrat, akademisi, bankir, dan wakil2 umat. Yang memilih BPKH adalah juga Komisi Agama DPR RI, setelah diseleksi ketat oleh Panitia Seleksi.

Kalau hari-hari ini masih ada yang memasalahkan pengelolaan keuangan haji, saya melihat itu lebih karena faktor politis, bukan karena aspek yuridis. Aspek politisnya adalah, upaya tak berkesudahan memperhadapkan pemerintahan ini kpd umat Islam. Dimulai dr kontestasi tak berkesudahan sejak pilpres 2014, diikuti dg upaya deligitimasi keislaman Presiden Jokowi. Padahal, sejak 17 Agustus 1945, republik ini tidak pernah dipimpin oleh seorang non-muslim. Tp selalu ada saja sebagian umat Islam yg mengatakan, rezim A atau B dan seterusnya ini berhadapan dengan Islam. Yang patut ditanyakan adalah Islam yg mana?

Segala yg disampaikan oleh pak Jokowi atau pemerintah, hampir selalu dibelokkan untuk diperhadapkan pada Islam. Bahkan msh ada yang memviralkan soal PKI yang seolah 'hidup kembali', padahal itu ilusi dan se-mata2 agitasi politik. Tentu agitasi ttg hidupnya kembali PKI juga untuk kepentingan politik yang menyuarakan. Jadi ini soal manuver politik sampai-sampai harus ada yang minta maaf diatas kertas bermaterai krn agitasinya soal PKI. Lebih baik demikian daripada menyesatkan.

Mereka sengaja menutupi sejarah bahwa TAP MPRS XXV/1966 yg melarang PKI & paham komunisme seolah tiada, padahal masih berlaku. Akhirnya seruan soal penggunaan dana haji utk infrastruktur pun digoreng sedemikian rupa seolah itu inkonstitusional. Padahal pengelolaan dana haji RI jauh lebih prudent dan konservatif ketimbang misal Lembaga Tabunghaji Malaysia (LTM). LTM investasi properti saat market bullish di bursa London, properti di Australia, gedung perkantoran di Putrajaya, dll. LTM juga investasi di equity market, pasar modal, dan fixed income seperti deposito dan sukuk

Bayangkan klo BPKH investasi membeli jalan tol Jagorawi atau Cikampek yang cash inflow-nya sudah terbukti sangat menguntungkan. Berapa banyak yang didapat Jasa Marga yg bisa digunakan percepat pembangunan infrastruktur di tempat lain yg sangat tertinggal. Brp besar return yg juga bisa didapat BPKH untuk manaikkan imbal hasil dana haji ketimbang hanya deposito atau sukuk.

Mestinya logika ini yang harus dipahami terlebih dulu oleh yang tidak setuju dana haji untuk infrastruktur. Bukan asal main tolak dengan logika miring, padahal Nabi SAW mengajarkan "Lihatlah apa yang disampaikan, bukan siapa yang menyampaikan".

Imam Nawawi, salah seorang mujtahid besar madzhab Syafi'i, juga mengatakan "kita menghukumi berdasarkan apa yang tampak, hanya Allah lah yang bisa menghukumi apa yang tidak tampak"

Kalau semua pendapat didasarkan atas su'uzhon atau informasi miring, maka takkan ada kehidupan kenegaraan yg harmonis. Alihalih kehidupan harmonis, PR besar bangsa ini adalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Salah satu solusinya adalah pembangunan besar-besaran infrastruktur. Yang memang sudah lama berjalan lambat. Kita sudah 72 tahun merdeka, masih seperlima jumlah penduduk yg blm nikmati listrik. Sementara separo penduduk free ber-internet ria

Gambaran lain penduduk RI no. 4 di dunia, tetapi ekonomi kita masih no. 10. Artinya, kita masih harus bekerja lebih keras. Padahal sudah melewati Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan 7 presiden berjalan. Tp saat ini justru yg meruyak adalah kegaduhan. Kita senang meributkan persoalan sepele di dunia, tapi persoalan besar seperti kemiskinan, tak banyak yg singsingkan lengan. Mungkin karen kerja-kerja entaskan kemiskinan itu lama, sepi publikasi & tidak 'heroik' ketimbang berbagai aksi yg liput-able. Apalagi dibumbui label nasionalis atau label agamis. Tidak salah, tp seolah itu menjadikan pelakunya yg terhebat.

Padahal Rasul SAW mengajarkan agama yg sangat membumi: mengentas kemiskinan itu lah yg menyempurna ibadah seseorang. Kemiskinan tdk bisa dientas sendirian. Ia butuh keroyokan: pemerintah, DPR, ormas, swasta, BUMN & lembaga keuangan mikro. Olehnya, marilah kita hentikan segala bentuk kebencian, provokasi, apalagi penerusan berita2 fitnah. Hentikan meneruskan informasi yg didasari logika miring, tanpa disaring, apalagi hanya utk mengejar bunyi yg nyaring.

Ingat pepatah lama tong kosong bunyinya nyaring. Lebih baik menyesal tapi berbuat daripada menggerutu sepanjang waktu. Dr tanah suci sy berdoa, semoga Indonesia makin stabil negaranya, damai kehidupan warganya dan sejahtera rakyatnya. Wallahu a'lam bi murodihi. Kepada Allah SWT lah seluruh kebenaran akhirnya disandarkan. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun