“Kumaha Bay persiapan, diajar naon peuting tadi?” kali ini Rino menoleh pada Bayu yang bersandar ke handrail dinding.”Tong pinggir teuing di samping handrail, jatuh bisa bubar acara, haha.” Rino mengingatkan Bayu supaya tidak bersandar terlalu tepi.
“Kalem, kalem. Persiapan ya gitulah, standar.” Bayu ini handal di pelajaran matematika. Tidak heran pilihan utama dia Matematika ITB, dan matematika UNPAD di pilihan kedua UMPTN-nya. Yang penting matematika. Keningnya yang lebar, sudah dianggap memiliki dimensi luas yang sama dengan kening pak Oca guru matematika di sekolah. Seringkali Bayu dibilang anaknya pak Oca.
“Jam tujuh kurang lima. Hayu ah masuk.” Gito melihat jam tangannya.
“Wah, ini dia.” Mereka bertiga melakukan tos sebelum masuk ruangan masing-masing. “SUKSES!!!” serempak mereka bertos ria. Pertarungan pun dimulai.
***
Sisa tujuh soal lagi matematika dasar yang belum Rino sentuh, sengaja ia lewat, agak susah. Sedangkan kedua ujian bahasa juga belum sepenuhnya diisi, masih ada beberapa yang belum dijawab. Rino terus berpikir.
Waktu sudah mepet, sisa setengah jam. Ada yang sudah meninggalkan tempat. Hm, psychologicalwar, pikir Rino. Masih ada setengah jam, batinnya. Akhirnya Rino mengeluarkan jurus terakhirnya, hitung kancing! Tidak sembarang hitung kancing, ia diajarkan guru bimbelnya untuk melakukan tebakan dengan tetap menganalisa. Tebakan yang lebih scientific. Coret jawaban yang jauh dari kemungkinan, tidak masuk logika, dan gak nyambung. Sisanya, let your hand choose.
Bulatan demi bulatan hitam Rino lakukan untuk mengisi lembar jawaban komputer. Konon katanya bulatan jangan melebihi sisi luar lingkaran karena nanti bisa error pembacaan komputernya. Dan kotak hitam di samping kiri lembar jawaban jangan sampai terhapus, karena itu semacam sensor pendeteksi. Entahlah. Rino tidak pernah yakin dengan itu, karena ia pernah melihat guru di sekolah melakukan penilaian jawaban dengan plastik mika transparan. Sehingga jika lingkaran hitam di mika transparan tersebut cocok dengan posisi lingkaran hitam di lembar jawaban komputer, maka jawabannya benar. Itu sih sama saja periksa manual bukan komputer, pikir Rino.
Beberapa soal bahasa masih ada yang belum diisi. Matematika dasar sudah ia pasrahkan dengan metode hitung kancing. Bahasa Indonesia ini agak rumit, permainan katanya membingungkan Rino. Tidak mau pusing terlalu lama, hitung kancing pun dimulai lagi. Efektif dan efisien, tapi kebenaran disangsikan, hehe.
Saat injury time, Rino melihat keadaan sekitar. Biasanya memang saat injury time inilah situasi lengah, pengawas sibuk melihat kesana kemari, banyak yang mulai meninggalkan mejanya. Di depan Rino, dan di sebelahnya, seperti terjadi “negosiasi”. Oh, mereka saling kenal rupanya. Dan luput dari pengawasan penjaga. Transaksi jawaban pun dimulai, berhasil! Wah, skill juga nih mereka. Pengawas tidak mengetahui. Rino melihat transaksi jawaban tersebut dengan jelas. Tapi dia tak ambil pusing. Ditutupnya lembar soal dan jawaban Rino. Ia memasrahkan beberapa soal tidak dijawab karena terlalu berisiko. Hebatnya sistem UMPTN ini jika benar nilainya empat, dan jika salah minus satu. Sehingga peserta ujian harus menghitung betul-betul prediksi berapa jawaban yang yakin benar, dan yang ragu sebaiknya dikosongkan, karena nilainya nol. Daripada minus, rugi bandar.
Alat tulis ia masukkan ke dalam tas, dan segera meninggalkan ruangan. Kedua orang yang ia amati tadi memanfaatkan momen Rino meninggalkan meja dengan melanjutkan transaksi jawaban. Entah mereka sadar atau tidak, kode soal tiap peserta tidak selalu sama. Jika kode berbeda, maka urutan soal juga berbeda. Mudah-mudahan mereka tidak sadar, harapan Rino.