Bandung, 2000
Pagi itu, Rino datang cukup pagi ke kampus ITB. Lokasinya dekat rumah Rino di Dago atas, tidak masalah baginya untuk datang pagi. Jalan kaki pun jadi. Tapi hari itu, Rino memilih naik angkot, menjaga stamina. Cukup berat yang dihadapinya hari ini, UMPTN!
Hari pertama hanya tiga mata pelajaran yang diuji: Matematika Dasar, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Rino cukup yakin bisa menghadapi hari pertama UMPTN. Sudah berkali-kali dia ikut try out di beberapa lembaga bimbingan belajar untuk menjajal kemampuannya. Perolehan terbaiknya adalah berhasil lulus ke Kimia ITB, sesuai harapannya. Kenapa ITB? Karena dekat rumah. Kepeleset juga sampai, istilahnya. Sebenarnya target utama Rino adalah Teknik Kimia ITB. Begitu ia tahu bahwa Tekim, istilah pendeknya, urutan keempat di ITB saat itu, ciut nyalinya. Rino tidak pernah berhasil lulus try out jika pilihannya ke Tekim ITB. Dan di try out terakhirnya, ia berhasil lulus masuk Kimia ITB, sebagai pilihan keduanya setelah Teknik Kimia ITB. Hidupnya tak ingin jauh dari kimia, sebab hanya pelajaran itulah yang dia kuasai di bangku SMA.
Rino merasa lemah di fisika, terlalu banyak rumus menurutnya. Dan fisika menuntut wawasan teknik, suatu ilmu yang kurang Rino kuasai. Biologi lebih-lebih lagi, ia tidak menyukainya. Ia kurang senang menghafal banyak istilah-istilah latin yang banyak ditemui di pelajaran biologi. Terlalu banyak yang harus dihafal, diingat. Dari tiga ilmu pengetahuan alam, hanya kimia yang menjadi favoritnya. Saat temannya kebingungan kenapa atom C mempunyai empat “kaki” untuk bersinergi dengan atom lainnya, Rino sudah paham. Saat temannya pusing membayangkan bentuk geometri CH4 harus seperti apa, Rino sudah terbayang bahwa itu adalah tetrahedral.
Sebenarnya, faktor gurulah yang membuat Rino menyukai kimia. Ibu yang terkenal killer di SMA, tapi Rino menemui versi yang berbeda di tempat bimbingan belajar. Ibu Lena menjadi sosok yang sangat menyenangkan di lembaga tersebut. Cara mengajarkannya runut, taktis, dan mudah dimengerti. Sehingga saat di sekolah ada guru kimia lain yang mengajarkan materi yang sama, temannya banyak kebingungan, tapi Rino sudah mengerti. Memang beberapa guru sekolah mempunyai pekerjaan sampingan di lembaga bimbel, sebagai penghasilan tambahan. Dan, cara mengajarnya bisa berbeda. Mungkin tuntutan, karena kalau cara mengajarnya tidak menyenangkan dan tidak memudahkan siswa, dia tidak akan terpakai di lembaga tersebut. Sehingga Rino kemudian heran, aneh juga ya… killer di sekolah tapi menyenangkan di bimbel. Ah tuntutan peran.
***
Dia celingak-celinguk mengecek ruangan UMPTN-nya. Ruang oktagon menjadi tempat uji kemampuan otak kirinya dua hari ini. Berhasil ketemu! Ia melihat sekeliling, tidak satupun yang ia kenali di ruangan itu. Tapi di ruangan lainnya, ada beberapa teman SMA-nya juga UMPTN di gedung yang sama.
Ruangannya cukup besar, setengah lingkaran, dengan posisi tata letak seperti stadion sepak bola. Dengan gaya ruang seperti itu, semua yang ada di ruangan tersebut bisa melihat subjek di depannya. Efektif bagi dosen mengajar, semua mahasiswa bisa melihat siapa yang berbicara di depannya, tanpa harus terhalang kepala orang di depannya. Biasanya di kampus dengan ruangan kelas biasa, orang yang duduk paling belakang kesulitan melihat pembicara di depan, karena terhalang kepala orang di depannya. Sehingga akhirnya secara tidak sadar, posisi orang belakang dan di belakangnya menjadi zig zag, demi melihat pembicara di depan. Dan jika orang di depannya bergerak ke kiri, yang di belakang harus ke kanan. Akhirnya seperti sepasang kekasih India menari di sekeliling pohon.
Rino menyamakan nomor meja dengan miliknya, dan menyimpan tasnya di atas bangku. Dia lalu keluar untuk ngobrol-ngobrol sedikit melepas tegang bersama kedua temannya.
“Siap, Git?” Rino menyapa Gito yang ada di ruangan sebelah.
“Insya Allah… kumaha ngke, hehehe.” Gito ini teman satu kelas Rino di 3G Smansa, juara kelas. Rino di catur wulan terakhir berada di urutan keempat, sebuah posisi terbaiknya selama sekolah sejak SD. Rino termasuk yang jarang masuk jajaran lima besar saat bersekolah. Paling bagus, bertengger di sepuluh besar. Menembus lima besar, itu sudah prestasi terbaiknya. Dan itu berhasil dicapai di “final” masa sekolah, kelas 3 SMA. Rino cukup puas dengan hasil tersebut.