Pernah ada suatu cerita gubernur NTT yang sekarang ini datang ke Boti dan menawarkan ke Raja untuk memilih agama bersama rakyatnya. Raja menolak dengan dalih, mereka tidak beragama tapi mereka tau budaya dan beradab. Dalam sejarah, tidak ada satupun warga Boti yang masuk penjara. Semuanya patuh dengan alam dan Raja. Bukanlah penghuni penjara malah justru kita yang mengklaim diri beriman dan punya agama?
Tak lama, suguhan datang. Teh hangat dan pisang rebus serta pisang goreng. Semuanya hangat dan nikmat. Kami melahapnya tanpa bersisa. Kudapannya disajikan di sebuah tempat anyaman yang mereka buat sendiri. Mereka pun membuat piring, sendok, gelas dari batok kelapa atau bambu. Semua dari alam dan dibuat sendiri. Saya suka sendoknya yang juga diukir dan memiliki presisi yang tepat kanan dan kiri. Mengenai makanan, sungguh 4 hari di Boti kami selalu kenyang dan tercukupi. Makan nasi dan jagung bose sebanyak 2 kali sehari dan snack seperti pisang rebus, pisang goreng, keripik pisang dan donat 3 kali sehari. Favorit saya adalah pisang rebus dan donat. Donatnya lembut dan digoreng dengan minyak kelapa yang juga mereka buat sendiri.
Kami menginap di rumah yang digunakan memang sebagai penginapan. Rumah ini memiliki 4 kamar tidur dan satu ruang di tengah untuk berkumpul. Oh ya rumah di Boti pun masih tradisional, atap alang-alang dan beberapa masih berbentuk rumah bulat, lainnya berdinding bebak. Bebak dan alang-alang itu mereka buat sendiri dari pohon gewang yang juga mereka tanam sendiri. Indahnya sinergi antara alam dan ketrampilan.
Saya sempat khawatir, bagaimana rupa dari WCnya? Dan ternyata ketakutan saya ini tidak beralasan, karena disekitar penginapan, ada 4 kamar mandi dan 4 WC yang memenuhi standar PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), kloset leher angsa, punya air, penampungan kotoran, jauh dari dapur dan lainnya. Menurut bapa raja, semua rumah di Boti memiliki WC yang sesuai kriteria tersebut. Luar biasa.
Satu lagi tentang kebersihan, walaupun hampir semuanya memamah sirih pinang, tapi saya tidak menemukan ludar merah sembarangan dibuang di tangga batu-batu. Tidak. Mereka sudah menyiapkan tempat untuk buang ludah dari bambu, dan diletakan ditempat mereka biasa berkumpul dengan bapa raja Boti.
Saya di Boti belajar tentang orang Timor yang rajin, pegang teguh tradisi dan tidak berharap pada bantuan. Mereka walau tinggal di kampug dan terpencil, dan sering menjadi warga yang terpinggirkan tapi justru mereka bisa menghidupi kehidupan mereka, tanpa harus menadah tangan menunggu bantuan. Beberapa kali mereka menolak bantuan apapun yang ditawarkan karena memang mereka tidak butuh. Apa yang mereka butuh sudah tersedia oleh alam.
Saya melihat orang Timor yang tulus, ramah, sopan dan bersahaja di Boti. Yang mereka lakukan, pelayanan mereka yang begitu luar biasa, tidak dilakukan untuk suatu maksud, murni hanya ingin membuat kami nyaman. Penginapan dengan makanan full service seperti itu dihargai sangat murah sekali. Ahh, saya begitu terkesan dengan hidup di Boti yang membuat saya betah dan tidak ingin cepat pulang.
Pagi di Boti adalah saat yang paling saya suka. Udaranya sejuk, burung bercicit, suara alam begitu jelas. Saya mengamati sekitar, dan sudah melihat aktivitas pagi masyarakat Boti, para perempuan sibuk di dapur, anak-anak ada yang menimba air, bapak-bapak pergi berkebun dan menanam.
Beberapa anak disekolahkan namun sebagian tidak. Karena mereka tetap ingin menjaga uspaya tradisi mereka ada yang melanjutkan. Anak-anak pun sudah memakai sarung sejak umur mungkin 6 tahun. Mereka tidak diperbolehkan bermain disekitar sonaf, mereka sudah membantu ambil air yang memang cukup jauh sekitar 300 meter turun ke bawah. Kebun mereka terletak di luar pagar, dan disitu pula mereka memelihara ternak, kambing dan sapi, juga ayam.
Orang-orang Boti terlihat sehat. Badan mereka tidak gemuk tapi kuat. Mereka berjalan dan bekerja cukup berat. Dan karena banyak mengkonsumsi jagung serta sayuran, gigi mereka bagus dan rambutnya lebat. Penanggalan di Boti bukan memakai kalender masehi. Mereka beristirahat di hari ke9. Saat hari kesembilan, para lelaki tidak boleh pergi ke ladang, mereka berkumpul di sekitar sonaf dan membuat kerjinan tangan seperti piring, sendok dari batok kelapa. Sedangkan para wanita menenun. Tenunan mereka ada yang memakai benang yang dibeli, tapi masih juga mereka membuat benang sendiri dari kapas dan membuat pewarnaan sendiri dari alam. Dan tenunan yang terbuat dari alam memanglah lebih kuat dan terlihat lebih indah.
Hidup di Boti selama 4 hari membuat saya seperti sedang beristirahat sejenak di taman Eden. Kesinambungan antara alam dan manusia begitu terasa kuat di Boti. Malam yang pekat dan bersahabat, pagi yag sejuk, siang yang berkeringat, semuanya teratur dapat dirasakan di Boti.