Mohon tunggu...
sandra frans
sandra frans Mohon Tunggu... -

Seseorang yang suka dan masih belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Suku Boti dan Kekayaan Sumber Daya Timor

1 September 2016   21:15 Diperbarui: 3 September 2016   00:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai orang muda yang lahir besar di tanah Timor ini, saya sedikit merasa malu karena tidak terlalu mengenal tanah sendiri. Dua tahun bekerja di puskesmas kota SoE telah sedikit membuka mata saya tentang tanah lahir ini. Namun harus diakui bahwa cerita yang saya dapat tidak selamanya indah. Saya sering mendapat cerita tentang orang Timor yang sudah sangat tergantung akan bantuan entah dari pemerintah maupun swasta yang mengalir sangat deras sudah sejak puluhan tahun. Bantuan-bantuan yang memberi efek baik yang instan tapi malah membuat masyarakat menjadi malas dan membentuk mental menunggu pertolongan orang. Tidak jarang, saya mendapat cerita atau bahkan mengalami sendiri tentang masyarakat yang susah sekali digerakkan untuk melakukan ini dan itu, yang sejatinya sangat bermanfaat untuk mereka.

Yang saya dengar dari tanah Timor adalah mangan yang dieksploitasi, menciptakan ledakan pekerjaan sesaat, namun setelah batu mangan habis, tinggalah tanah yang makin longgar, sumber air yang makin susah, dan masyarakat yang tak lagi punya kerja. Yang saya lihat dari Timor saat musim panas, adalah tanah kering, dan kelaparan serta susah air. Yang saya saksikan dari Timor adalah lahan-lahan yang dibakar untuk tanam jagung, tanpa memperhitungkan unsur hara yang ikut musnah bersama api yang konon dipercaya baik untuk mempersiapkan tanah. Dan lainnya.

Namun saya tidak menyangka di penghujung 2014 dan awal 2015 suatu kejadian mengubahkan pandangan saya tentang Timor dan membuat benih pengharapan boleh tumbuh dalam hati yang awalnya sudah pupus kering.

Tentang Suku Boti, Suku asli Timor yang ramah, rajin, ulet dan bersih.

Saya diajak oleh tim NET TV Indonesia Bagus untuk live in di Boti selama 4 hari dan membuat liputan tentang keseharian masyarakat Boti. Tentu saja saya menyambut gembira hal ini karena saya sudah lama sekali ingin berkunjung ke Boti, apalagi Yosua sudah beberapa kali pernah ke sana dan menceritakan kearifan suku tersebut. 

Dan dimulailah petualangan kami dari tggl 30 Des 2014 – 2 Jan 2015. Tim kami ada 4 orang, saya, Siska dan Akbar dari NET, om Din yang menjadi penunjuk arah dan om Feri sopir yang membawa kami.

Desa Boti terletak di Kecamatan Kie, Kabupaten TTS. Jarak tempuh dari kota Soe sekitar 60km, dengan melewati beberapa titik yang rawan longsor dan sedikit bahaya, tipikal jalan di Timor sini. Haruslah yang sudah biasa mengendarai mobil untuk sampai ke Boti. Akhirnya setelah menempuh total perjalanan hampir 2 jam kami pun tiba di gerbang suku Boti. Saya melirik hp dan tidak ada sinyal disana.

Seorang bapatua dengan konde dan selimut serta baju bergaris tanpa memakai alas kaki, membukakan pintu pagar untuk kami. Kemudian kami meuruni tangga batu menuju Sonaf (rumah Raja Boti). Kesan yang saya dapat saat menuruni tangga adalah, asri dan hijau. Banyak pohon besar di kanan kiri, cicit burung dan pekarangan yang bersih, bahkan dedaunan pun hampir tak terlihat di tanah, padahal begitu banyak jenis pohon di situ. Lalu bertemulah kami dengan Usif Raja Boti, Namah Benu. Pria yang selalu tersenyum namun terlihat kharisma dari setiap gerakannya. Raja Boti ini menjadi Raja menggantikan ayahnya yang telah meninggal hampir 10 tahun lalu. Raja Boti yang terdahulu itu sangat terkenal, dia pernah diundang ke istana negara dan sangat disegani oleh Gubernur NTT terdahulu. Beliau meninggal di usia 104 tahun dan digantikan oleh anak laki-lakinya.

Bapa Raja Boti ini memakai pakaian yang mirip dengan bapatua yang tadi membukakan pintu, kemudian saya mengetahui bahwa itulah pakaian adat mereka yang juga adalah pakaian sehari-hari. Baju dan selimut ditenun sendiri dan para lelaki maupun perempuan dikonde rapih tanpa alas kaki. Saya bertanya dengan seorang warga Boti, mengapa rambut mereka dikonde, dan dia tidak tahu jawabannya. Setelah 3 hari disana, saya berkesimpulan, mungkin rambut mereka dikonde karena mereka begitu menjunjung kerapihan dan keteraturan. Keseharian mereka begitu teratur. Akan saya ceritakan setelah ini.

Om Din mengutarakan maksud kunjungan kami ke sini, sambil membawa oko mama yang berisi pinang kering dan buah sirih. Bapa raja mengangguk dan tetap tersenyum ke arah kami. Beliau mengerti bahasa Indonesia tapi susah untuk berbicara dengan bahasa Indonesia. Pembicaraan dilakukan dengan bahasa Dawan, bahasa asli orang Timor.

Kemudian kami berkenalan dengan mama raja, adik kandung dari bapa raja. Wanita cantik yang juga murah senyum, rapih dan terlihat kepemimpinannya sebagai perempuan. Benar saja, beliau yang mengatur urusan ‘dapur’ di Sonaf juga koperasi di Boti. Suku Boti berbeda dengan orang Timor lain, dalam hal kepercayaan. Mereka tidak memeluk agama, tapi mereka hidup damai satu sama lain. Mereka masih sangat memegang teguh adat istiadat Timor yang dekat dengan alam. Pohon tidak boleh ditebang sembarangan, tanah dicangkul baru ditanam, bukan dibakar. Mereka memanfaatkan alam untuk hidup dan berhasil.

Pernah ada suatu cerita gubernur NTT yang sekarang ini datang ke Boti dan menawarkan ke Raja untuk memilih agama bersama rakyatnya. Raja menolak dengan dalih, mereka tidak beragama tapi mereka tau budaya dan beradab. Dalam sejarah, tidak ada satupun warga Boti yang masuk penjara. Semuanya patuh dengan alam dan Raja. Bukanlah penghuni penjara malah justru kita yang mengklaim diri beriman dan punya agama?

Tak lama, suguhan datang. Teh hangat dan pisang rebus serta pisang goreng. Semuanya hangat dan nikmat. Kami melahapnya tanpa bersisa. Kudapannya disajikan di sebuah tempat anyaman yang mereka buat sendiri. Mereka pun membuat piring, sendok, gelas dari batok kelapa atau bambu. Semua dari alam dan dibuat sendiri. Saya suka sendoknya yang juga diukir dan memiliki presisi yang tepat kanan dan kiri. Mengenai makanan, sungguh 4 hari di Boti kami selalu kenyang dan tercukupi. Makan nasi dan jagung bose sebanyak 2 kali sehari dan snack seperti pisang rebus, pisang goreng, keripik pisang dan donat 3 kali sehari. Favorit saya adalah pisang rebus dan donat. Donatnya lembut dan digoreng dengan minyak kelapa yang juga mereka buat sendiri.

Kami menginap di rumah yang digunakan memang sebagai penginapan. Rumah ini memiliki 4 kamar tidur dan satu ruang di tengah untuk berkumpul. Oh ya rumah di Boti pun masih tradisional, atap alang-alang dan beberapa masih berbentuk rumah bulat, lainnya berdinding bebak. Bebak dan alang-alang itu mereka buat sendiri dari pohon gewang yang juga mereka tanam sendiri. Indahnya sinergi antara alam dan ketrampilan.

Saya sempat khawatir, bagaimana rupa dari WCnya? Dan ternyata ketakutan saya ini tidak beralasan, karena disekitar penginapan, ada 4 kamar mandi dan 4 WC yang memenuhi standar PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), kloset leher angsa, punya air, penampungan kotoran, jauh dari dapur dan lainnya. Menurut bapa raja, semua rumah di Boti memiliki WC yang sesuai kriteria tersebut. Luar biasa.

Satu lagi tentang kebersihan, walaupun hampir semuanya memamah sirih pinang, tapi saya tidak menemukan ludar merah sembarangan dibuang di tangga batu-batu. Tidak. Mereka sudah menyiapkan tempat untuk buang ludah dari bambu, dan diletakan ditempat mereka biasa berkumpul dengan bapa raja Boti.

Saya di Boti belajar tentang orang Timor yang rajin, pegang teguh tradisi dan tidak berharap pada bantuan. Mereka walau tinggal di kampug dan terpencil, dan sering menjadi warga yang terpinggirkan tapi justru mereka bisa menghidupi kehidupan mereka, tanpa harus menadah tangan menunggu bantuan. Beberapa kali mereka menolak bantuan apapun yang ditawarkan karena memang mereka tidak butuh. Apa yang mereka butuh sudah tersedia oleh alam.

Saya melihat orang Timor yang tulus, ramah, sopan dan bersahaja di Boti. Yang mereka lakukan, pelayanan mereka yang begitu luar biasa, tidak dilakukan untuk suatu maksud, murni hanya ingin membuat kami nyaman. Penginapan dengan makanan full service seperti itu dihargai sangat murah sekali. Ahh, saya begitu terkesan dengan hidup di Boti yang membuat saya betah dan tidak ingin cepat pulang.

Pagi di Boti adalah saat yang paling saya suka. Udaranya sejuk, burung bercicit, suara alam begitu jelas. Saya mengamati sekitar, dan sudah melihat aktivitas pagi masyarakat Boti, para perempuan sibuk di dapur, anak-anak ada yang menimba air, bapak-bapak pergi berkebun dan menanam.

Beberapa anak disekolahkan namun sebagian tidak. Karena mereka tetap ingin menjaga uspaya tradisi mereka ada yang melanjutkan. Anak-anak pun sudah memakai sarung sejak umur mungkin 6 tahun. Mereka tidak diperbolehkan bermain disekitar sonaf, mereka sudah membantu ambil air yang memang cukup jauh sekitar 300 meter turun ke bawah. Kebun mereka terletak di luar pagar, dan disitu pula mereka memelihara ternak, kambing dan sapi, juga ayam.

Orang-orang Boti terlihat sehat. Badan mereka tidak gemuk tapi kuat. Mereka berjalan dan bekerja cukup berat. Dan karena banyak mengkonsumsi jagung serta sayuran, gigi mereka bagus dan rambutnya lebat. Penanggalan di Boti bukan memakai kalender masehi. Mereka beristirahat di hari ke9. Saat hari kesembilan, para lelaki tidak boleh pergi ke ladang, mereka berkumpul di sekitar sonaf dan membuat kerjinan tangan seperti piring, sendok dari batok kelapa. Sedangkan para wanita menenun. Tenunan mereka ada yang memakai benang yang dibeli, tapi masih juga mereka membuat benang sendiri dari kapas dan membuat pewarnaan sendiri dari alam. Dan tenunan yang terbuat dari alam memanglah lebih kuat dan terlihat lebih indah.

Hidup di Boti selama 4 hari membuat saya seperti sedang beristirahat sejenak di taman Eden. Kesinambungan antara alam dan manusia begitu terasa kuat di Boti. Malam yang pekat dan bersahabat, pagi yag sejuk, siang yang berkeringat, semuanya teratur dapat dirasakan di Boti.

Mereka tidak meonton TV, tidak memiliki hp, tidak memakai listrik, tapi mereka bahagia. Jika mereka berkumpul dan bercerita entah itu laki-laki maupun perempuan, mereka akan tertawa. Dan senyum tak pernah hilang dari wajah orang-orang Timor asli ini.

Nama-nama mereka pun unik, Atu, Sau, Teu, Muke, Nune, Fai, Aba dan lainnya. 

Ahh, saya menitikkan air mata saat harus meninggalkan Boti, tempat yang nyaman dan asri. Beberapa orang mengikuti kami sampai ke pagar dan memanggil saya lalu meminta saya jika foto kami sudah dicetak mohon dikirim ke mereka. Sungguh berkesan sekali bisa bersama mereka, meyakinkan saya bahwa tanah Timor ini, masih memiliki harapan. Andai semua kita memiliki mental seperti orang Boti yang bekerja keras dan akrab dengan alam, mungkin banyak masalah di Timor akan terpecahkan. Yang saya saksikan adalah keharmonisan hidup di Boti.

Suatu saat, saya ingin kembali ke Boti dan kembali menikmati indahnya hidup berdampingan dengan alam. Boti membuat saya punya bekal cerita untuk saya sampaikan kepada siapapun yang ingin bertanya tentang Timor. 

Oh ya, di sana ada disediakan 2 buku tamu, untuk tamu Indonesia dan tamu Luar negeri, dan (tidak) mengherankan kalau daftar tamu luar negeri lebih banyak daripada tamu Indonesia.

Januari 2015

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Tulisan pernah di publish di blog pribadi saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun