Charlotte digambarkan sebagai Menteri Luar Negeri yang sangat berdedikasi pada pekerjaan, dia mampu tampil sempurna dalam setiap situasi. Penampilan, tutur kata dan ketajaman berpikir Charlotte bagaikan tidak terpengaruh oleh apapun bahkan ketika ia kelelahan dan kurang tidur.Â
Sayangnya, dikisahkan setelah Charlotte menjalin hubungan cinta dengan Fred, Charlotte tampak kehilangan fokus. Saat ada negosiasi pembebasan tawanan teroris, Charlotte sedang dalam keadaan mabuk. Meskipun akhirnya negosiasi itu berhasil dan makin mengangkat popularitas Charlotte, tetapi ini adalah degradasi fundamental pada kapabilitas seorang perempuan, menjadikan kerja keras dan prestasi perempuan sebagai lelucon.Â
Mengapa Charlotte harus ditampilkan dalam keadaan mabuk untuk menghasilkan negosiasi yang berhasil? Tidak yakinkah kita bahwa negosiasi akan berhasil ketika Charlotte dalam keadaan prima? Apakah prestasi Charlotte selama ini tidak relevan karena ternyata bisa tergantikan oleh keberuntungan semata?
Dalam upaya Charlotte mencalonkan diri pun, kita seharusnya sadar bahwa Charlotte terjebak dalam kultur yang sangat patriarkis, ia sama sekali tidak bisa lepas dari pengaruh laki-laki dan Charlotte, tokoh sentral dalam film ini tampaknya tidak menyadari hal itu. Charlotte begitu mengharapkan dukungan dari Presiden petahana, yang meskipun tidak becus kerjanya, tetapi dinilai memiliki pengaruh luas pada rakyat.Â
Charlotte diarahkan oleh tim suksesnya untuk berkencan dengan Perdana Menteri Kanada yang dinilai bisa meningkatkan popularitas Charlotte, ketimbang terus berdekatan dengan Fred Larsky. Fred, meskipun digambarkan sebagai sosok laki-laki incapable demi menunjukkan keunggulan Charlotte, akhirnya terjebak akibat video tidak senonohnya terhadap Charlotte.Â
Charlotte terpaksa menuruti keinginan pihak lawan hanya agar video skandal Fred tidak tersebar di dunia maya karena video seperti ini tentunya akan membuat popularitas Charlotte terjun bebas.Â
Dukungan rakyat pada Charlotte bahkan semua gerak-geriknya tanpa ia sadari selalu disetir oleh laki-laki di sekelilingnya, kapabilitas dan kredibilitasnya tidak pernah berdiri tegak sendirian.
Suatu situasi yang sangat memprihatinkan, yang saya yakin tidak hanya terjadi pada Charlotte tetapi juga pada semua perempuan di dunia yang patriarkis ini. Ketika kerja keras dan prestasi kita tidak pernah dianggap serius oleh orang lain, dengan kata-kata seperti "Oh, dia cantik sih, wajar bisa sampai ke jabatan itu," atau "Perempuan kalau jabatannya tinggi, suami dan anak-anaknya diurus sama siapa tuh? Pasti ada yang dikorbankan."Â
Ketika impian perempuan bahkan sudah dimatikan agar tidak bisa berprestasi "Perempuan buat apa sekolah tinggi-tinggi, nanti menikah ke dapur juga", "Perempuan gak bisa lah jabatannya tinggi, repot nanti cuti hamil dan melahirkan." Ketika kemampuan seorang perempuan dinilai dari laki-laki di sekelilingnya "Iya wajar sih soalnya suaminya petinggi di BUMN."Â
Bahkan ketika jelas-jelas perempuan yang menjadi korban ketidakadilan, seperti dalam kisah Charlotte yang menjadi objek seksual dan kemudian diperas menggunakan hal itu, tetap perempuan yang menerima getahnya, bukan laki-laki yang dipersalahkan "Abisnya pakai baju ketat begitu, pulang malam-malam." Â
Meskipun pada akhir cerita, Charlotte tetap berhasil menjadi presiden Amerika Serikat perempuan pertama setelah memutuskan untuk tetap bersama Fred Larsky, membiarkan video skandal tersebut tersebar dan melepaskan dukungan dari presiden petahana, tetapi saya batal memiliki kesan baik terhadap film ini dan harus sekali lagi kecewa dengan kemanusiaan saat ini.Â