Saya rasa ini hal yang sangat baik dan perlu dilakukan di seluruh Indonesia. Karena menurut Pak Hengky, Papua selama ini didengung-dengungkan sebagai daerah endemik HIV karena semua petugas aktif menjaring dan melakukan pencatatan. Padahal bila propinsi-propinsi lain melakukan screening seaktif Papua, beliau yakin pasti jumlah kasusnya kurang lebih sama, bahkan mungkin lebih banyak dari Papua.
Pengendalian Malaria
Seperti yang sudah diketahui oleh seluruh dunia, Papua adalah daerah endemik malaria. Dan sampai saat ini masih saja belum bisa dieradikasi. Bicara soal program ini mengingatkan saya akan pengalaman saya di Teluk Bintuni. Saya tidak terjangkit malaria di sana karena program malaria di Teluk Bintuni sukses besar, berkat kolaborasi intensif dari PT British Petroleum dan Dinas Kesehatan setempat. Sayangnya di Timika belum bisa sesukses itu.
Padahal menurut saya strateginya sudah lebih dari cukup: penyemprotan insektisida kualitas impor setiap 4 bulan sekali, pemasangan kelambu di rumah-rumah (dipasangkan langsung oleh tim kesehatan PT Freeport, bukan hanya diberikan), deteksi dini, pencatatan, distribusi obat Artemisin, dan pelatihan fasilitator lapangan.
Tetapi yang menjadi hambatan adalah tingginya mobilitas penduduk dari luar Timika ke dalam sehingga membuat infeksi malaria dari daerah lain terus masuk ke Timika dan karena kurangnya dukungan dari pemerintah.
Klinik Terapung
Ini jelas adalah program yang sangat solutif untuk mencapai pemerataan layanan kesehatan di seluruh Indonesia. Sebagian area Timika adalah pesisir dan masih banyak yang lebih mudah dijangkau lewat air, sehingga Klinik Terapung adalah solusi terbaik karena lebih baik petugas kesehatan aktif mendatangi warga daripada hanya menunggu warga datang. Sebenarnya kurang tepat bila hanya disebut klinik karena kapal yang digunakan bahkan memiliki ruang operasi untuk bedah minor, berkeliling ke 6 distrik sepanjang tahun.
Dan program yang paling luar biasa menurut saya adalah flying doctor ini. Bagaimana tidak? Saya ingat kembali ketika saya bekerja di Teluk Bintuni, ada 1 area yang sulit dicapai lewat darat sehingga paling efektif lewat udara alias naik helikopter. Tetapi, Dinas kesehatan setempat tidak memiliki helikopter dan dari PT British Petroleum saat itu tidak menyediakan sehingga rekan sejawat saya harus menunggu pesawat perintis yang entah kapan baru akan berangkat.
Apakah begitu sulitnya operasional helikopter di Papua, sementara di Jakarta helikopter berseliweran setiap hari? Bukan sulit, tetapi super mahal. Satu kali terbang biaya yang dibutuhkan bisa menjadi 40 juta Rupiah, belum ditambah biaya untuk logistik dan insentif tenaga medis sehingga total sekali perjalanan flying doctor bisa memakan biaya 75 juta Rupiah. Dan PT Freeport punya 3 helikopter! Terbang ke 3 distrik setiap 1 bulan sekali! Dengan demikian warga di daerah paling terpencil sekalipun bisa mendapatkan pelayanan kesehatan rutin.